Jumat, 19 Februari 2010

Sepotong Memori Tentang Bunda

[...]
Bunda, pagi ini aku melihat senyum sang mentari di balik bukit itu. Aku melihat langit yang sangat biru, cerah sekali. Aku melihat burung-burung beterbangan kesana kemari, dan pohon-pohon dengan daun yang hijau rimbun menaunginya. Airnya mengalir pelan, menggemericik, menimbulkan riak-riak kecil. Aku bahagia bunda...
Ingatanku pun melayang ke bumi kita, bunda. Lama tak kita nikmati suasana pagi seperti ini dengan secangkir teh hangat di tangan. Bercerita tentang lalu, kini, dan esok. Menyenandungkan impian-impian yang ingin aku, bunda, dan kita raih. Menyaksikan pemandangan desa yang damai. Aaah, bunda, aku begitu rindu dengan suasana itu. Ketika alam menjadi saksi atas kebersamaan kita.
Bunda, kutatap jauh titik di sana. Bunda, kemarin aku baru saja kehilangan teman sekaligus kakak untuk selamanya. Ia telah menghadap Sang Penciptanya tanpa kuduga sebelumnya. Dan bukan tidak mungkin bunda, esok aku tak melihat senyum tulusmu itu lagi. Entah aku atau bunda yang akan mengahadapNya terlebih dahulu, sebuah kepastian yang satu itu tak terelakkan lagi.
Ketika dua mata terpejam itu tak lagi kembali terbuka. Tuluskah aku melepasnya pergi. Ketika raga yang lelah itu terbaring, dan ia akan senantiasa terbaring tak berdaya. Relakah aku melihatnya. Ketika kelak tak kutemui lagi senyum manis di pintu rumah, masihkah hatiku berwarna. Ketika belaian lembut itu tak lagi kurasakan, masihkah aku akan tertawa lagi. Ketika rengkuhan kasih sayang itu tak lagi ada, masihkah aku akan bisa menatap hari esok secerah mentari pagi ini? Bunda...siapkah aku saat Yang Lebih Berkuasa atasmu memanggilmu ke sisi-Nya? Atau siapkah bunda saat Ia pun memanggilku kembali kepada-Nya...
Kehilangan orang yang kita sayangi, kita cintai adalah sebuah kehilangan yang teramat dalam. Begitu berartinya sebuah pertemuan walau sekejap, meski hanya untuk sebuah perpisahan, kata seorang kawanku. Aku ingin memperbaiki kesalahan-kesalahanku, bunda. Aku ingin mengukir kisah-kisah manis selama kita masih dipertemukan oleh-Nya. Semoga semuanya belum terlambat.
Bunda, maafkan aku. Maaf atas semua yang tak berkenan. Maaf atas semua yang tak sengaja, dan terlalu sering yang kusengaja. Bunda, maaf untuk tak bisa membalas semua yang telah kau berikan. Tapi percayalah bunda, ananda selalu ingin menjadi yang terbaik, mempersembahkan yang terbaik. Semua agar kau dan aku bahagia.
Bunda, izinkanku belajar menjadi anak yang baik darimu. Kelak, izinkan pula aku belajar menjadi istri yang baik untuk suamiku, menantu yang baik untuk orang tua suamiku, dan ibu yang baik untuk anak-anakku. Izinkan aku selalu belajar apapun darimu dan doakan aku menjadi pribadi yang baik, bun. Doakan aku menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta ini. Doakan agar impian-impianku tercapai.

Ooh...bunda ada dan tiada...
Dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...

*)potongan naskah lomba Kisah Kasih Ibu WordSmartCenter dan Mizan dengan beberapa perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar