Tampilkan postingan dengan label bunda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bunda. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Mei 2011

When I …

picture taken from here

Ketika kamu melihat aku jarang marah, maka janganlah heran. Karena aku merasa bahwa ayah dan ibuku tidak pernah mengajarkanku cara untuk marah. (meski ada kadar toleransi tertentu)

Ketika kamu melihat aku jarang mengkritik, maka janganlah heran. Karena aku merasa tidak pernah dibesarkan di bawah kritikan. (meski ada kadar toleransi tertentu)

Ketika kamu melihat aku sering mengatakan ‘terserah’, maka janganlah heran. Karena aku dibiasakan menerima apapun dengan tangan terbuka. (meski ada kadar toleransi tertentu)

Ketika kamu melihat aku begitu simpel dalam hal menu makan, refreshing, atau apapun dalam hidupku. Ya itulah, yang aku pelajari selama ini.

Dan ketika-ketika yang lain, itu adalah kepercayaan yang begitu besar, kebijaksanaan yang begitu agung, dan kasih sayang yang tiada batas dari orang tuaku.

I proud, very proud to be their daughter… but a quest no one never knows: are they proud having me as their daughter?

Sleman, 27 Mei 2011

Ketika terpisah jarak dengan bunda sekian ratus kilometer… miss you, mom…

Jumat, 19 Februari 2010

Sepotong Memori Tentang Bunda

[...]
Bunda, pagi ini aku melihat senyum sang mentari di balik bukit itu. Aku melihat langit yang sangat biru, cerah sekali. Aku melihat burung-burung beterbangan kesana kemari, dan pohon-pohon dengan daun yang hijau rimbun menaunginya. Airnya mengalir pelan, menggemericik, menimbulkan riak-riak kecil. Aku bahagia bunda...
Ingatanku pun melayang ke bumi kita, bunda. Lama tak kita nikmati suasana pagi seperti ini dengan secangkir teh hangat di tangan. Bercerita tentang lalu, kini, dan esok. Menyenandungkan impian-impian yang ingin aku, bunda, dan kita raih. Menyaksikan pemandangan desa yang damai. Aaah, bunda, aku begitu rindu dengan suasana itu. Ketika alam menjadi saksi atas kebersamaan kita.
Bunda, kutatap jauh titik di sana. Bunda, kemarin aku baru saja kehilangan teman sekaligus kakak untuk selamanya. Ia telah menghadap Sang Penciptanya tanpa kuduga sebelumnya. Dan bukan tidak mungkin bunda, esok aku tak melihat senyum tulusmu itu lagi. Entah aku atau bunda yang akan mengahadapNya terlebih dahulu, sebuah kepastian yang satu itu tak terelakkan lagi.
Ketika dua mata terpejam itu tak lagi kembali terbuka. Tuluskah aku melepasnya pergi. Ketika raga yang lelah itu terbaring, dan ia akan senantiasa terbaring tak berdaya. Relakah aku melihatnya. Ketika kelak tak kutemui lagi senyum manis di pintu rumah, masihkah hatiku berwarna. Ketika belaian lembut itu tak lagi kurasakan, masihkah aku akan tertawa lagi. Ketika rengkuhan kasih sayang itu tak lagi ada, masihkah aku akan bisa menatap hari esok secerah mentari pagi ini? Bunda...siapkah aku saat Yang Lebih Berkuasa atasmu memanggilmu ke sisi-Nya? Atau siapkah bunda saat Ia pun memanggilku kembali kepada-Nya...
Kehilangan orang yang kita sayangi, kita cintai adalah sebuah kehilangan yang teramat dalam. Begitu berartinya sebuah pertemuan walau sekejap, meski hanya untuk sebuah perpisahan, kata seorang kawanku. Aku ingin memperbaiki kesalahan-kesalahanku, bunda. Aku ingin mengukir kisah-kisah manis selama kita masih dipertemukan oleh-Nya. Semoga semuanya belum terlambat.
Bunda, maafkan aku. Maaf atas semua yang tak berkenan. Maaf atas semua yang tak sengaja, dan terlalu sering yang kusengaja. Bunda, maaf untuk tak bisa membalas semua yang telah kau berikan. Tapi percayalah bunda, ananda selalu ingin menjadi yang terbaik, mempersembahkan yang terbaik. Semua agar kau dan aku bahagia.
Bunda, izinkanku belajar menjadi anak yang baik darimu. Kelak, izinkan pula aku belajar menjadi istri yang baik untuk suamiku, menantu yang baik untuk orang tua suamiku, dan ibu yang baik untuk anak-anakku. Izinkan aku selalu belajar apapun darimu dan doakan aku menjadi pribadi yang baik, bun. Doakan aku menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta ini. Doakan agar impian-impianku tercapai.

Ooh...bunda ada dan tiada...
Dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...

*)potongan naskah lomba Kisah Kasih Ibu WordSmartCenter dan Mizan dengan beberapa perubahan.

Selasa, 09 Februari 2010

Siti, Simbok, dan Presiden


“Mbok, kenapa ya kita nggak bisa kaya? Padahal kita kan wis berjuang…” Siti mengeluhkan kondisinya yang tak juga berkecukupan.
“Ya sabar, to Nduk…” simboknya yang sudah sakit-sakitan menimpali.
“Kapan, ya Mbok Pak Presiden ke desa kita ngasih bantuan?” Siti kembali bertanya sembari menyusun sayuran di atas tampah.
Simbok menoleh ke arah Siti, “Nggak usah mimpi muluk-muluk to Nduk, Pak Presiden nggak mungkin ke desa kita. Lha wong duit rakyat dimakan presiden sendiri kok!”
Siti, gadis kecil berumur sepuluh tahun itu terdiam mendengar kata-kata Simbok. Ia melanjutkan mengulek sambal pecel untuk melengkapi dagangan simbok di warteg pinggir desa. Siti, anak malang yang tak bisa hidup layaknya anak-anak seumurannya. Ia tak punya kesempatan bersekolah, apalagi bermain. Hari-harinya dipenuhi pekerjaan membantu simbok. Bangun tidur, ia harus membantu menyiapkan dagangan lalu mencari kayu bakar untuk memasak esok harinya. Siangnya Siti menyusul simbok di warteg untuk menggantikannya berjualan sementara simbok mengambil cucian di rumah pelanggan. Sore hari, kala matahari hampir terbenam Siti membantu simbok mencuci pakaian. Hampir tak ada kesempatan biarpun sejenak untuk sekadar bergurau bersama teman-teman sebayanya. Walau begitu hidup mereka tak kunjung membaik.
***
Usai sudah Siti membantu simbok menyiapkan dagangan. Sekarang ia tinggal membantu simbok menaikkan dagangan di punggung simbok. Tiap hari simbok membawa dagangannya dengan sebuah bakul kecil yang digendong di punggung.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disertai goncangan dahsyat di tanah yang Siti dan simbok pijak.
“Siti, ayo keluar!” Simbok menggamit lengan Siti dan menyeretnya keluar tanpa mempedulikan dagangan lagi. Dagangan yang sudah tersusun rapi kini berhamburan di tanah.
“Mbok, apa ini?! Ada apa, Mbok?!” teriakan Siti tak terdengar Simbok.
Di luar orang-orang sudah berhamburan keluar rumah. Mereka berlari tanpa tujuan dengan teriakan yang keluar dari mulut masing-masing.
“Lindhu! Lindhu! Lindhu!” teriakan itu terdengar serentak.
“Mbok, dagangan kita!” Siti kembali masuk ke gubuk reyot, tempat tinggal mereka.
“Siti! Biar saja! Jangan masuk!” simbok berusaha mencegah Siti masuk lewat teriakan-teriakannya.
Usaha simbok sia-sia. Siti tetap masuk mengambil dagangan. Simbok pun menyusul ke dalam. Namun perlahan-lahan gubuk itu ambruk. Tiang-tiang tak mampu menahan lebih lama goncangan sesaat itu. Simbok berusaha kembali menarik Siti keluar sembari melindungi Siti dengan punggungnya. Beberapa detik kemudian goncangan berhenti. Tak terkira dan tak terduga sebuah benda melayang di atas kepala Siti dan simbok kemudian menghantam punggung simbok.
Refleks dekapan simbok pada tubuh Siti mengendor. Tubuh simbok terkulai di tanah, lantai rumah mereka. Siti bergantian mendekap simbok lalu berusaha memapahnya keluar. Usaha Siti kali ini tak sia-sia. Simbok berhasil dibawanya keluar. Darah mengucur dari punggung simbok, membasahi setiap jengkal tubuhnya. Sebagian tubuh Siti juga berlumuran darah simbok. Sedetik kemudian gubuk itu sudah rata dengan tanah.
Kini lengkap sudah penderitaan Siti. Di tengah deru kehidupan yang menyertainya ia kehilangan tempat tinggal satu-satunya. Siti juga kehilangan penghasilannya. Cucian yang akan dijemur nanti entah bagaimana nasibnya. Pecel dagangan simbok mungkin juga sudah bercampur dengan reruntuhan gubuk. Gubuk satu-satunya Siti tertindih salah satu bangunan perumahan di belakangnya. Dan simbok yang sudah sakit-sakitan terkulai tak berdaya.
***
Semua orang kini berkumpul di persawahan pinggir desa termasuk Siti dan simbok. Beruntung Siti anak yang baik hati sehingga semua orang tak sungkan menolongnya meskipun ia dan simbok miskin. Tadi simbok dipapah Mas Paijo menuju sawah ini. Punggungnya pun sudah dibalut sarung yang direlakan Mas Bejo untuk meredakan darah yang terus mengalir. Namun simbok belum juga sadar.
Semua bangunan kini tak ada lagi yang sempurna. Rumah-rumah mewah di belakang rumah Siti pun kini sama dengan gubuk mungil Siti. Semua luluh lantak tak ada yang berdiri kokoh lagi. Tak bisa terbayangkan para eksekutif kini juga merana meratapi nasib mereka. Tak ada lagi yang bisa diandalkan kecuali Tuhan.
Beberapa jam kemudian bantuan mulai berdatangan. Tenda-tenda mulai didirikan. Logistik juga mulai datang. Tenaga medis satu per satu membantu mengobati luka-luka termasuk luka simbok. Simbok sudah sadar meskipun kondisinya masih lemah. Siti duduk termenung di samping pembaringan Simbok. Satu hal yang masih ada di pikiran Siti, kapan Pak Presiden datang memberi bantuan?
Kini Siti hanya bisa termenung di bawah tenda pengungsian. Kadang ia menatap satu per satu sesama pengungsi sepertinya. Akankah ia akan hidup berkecukupan? Benarkah kata simbok kalau Pak Presiden mengambil uang rakyat? Tak ada kesibukan lagi yang dilakukannya kecuali menunggui simbok. Terkadang Siti menangis namun tatkala ia berada di dekat simbok, air mata disembunyikannya. Siti tak mau simbok sedih. Siti tak mau kehilangan simbok. Ia tak mau jadi peminta-minta. Simbok bilang, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
***
Matahari hampir tenggelam ketika terdengar sirine berdengung. Siti pun melongok keluar tenda untuk melihat apa yang terjadi. Ada beberapa orang berbadan tegap mengawal seseorang yang tinggi dan kelihatan berwibawa. Siapa dia, batin Siti. Penjahatkah? Penjajahkah?
“Pak Presiden datang! Pak Presiden datang!” beberapa orang berteriak kegirangan.
Pak Presiden datang?
Siti segera berlari ke tenda.
“Mbok, Pak Presiden datang! Pak Presiden datang, Mbok!” teriak Siti mengabari simbok. Simbok hanya bisa tersenyum. Tubuhnya masih terasa lemah.
Siti kembali keluar menyambut orang yang telah lama diimpikannya. Ia mendesak-desak orang di depannya agar bisa melihat Pak Presiden. Setelah perjuangan beberapa menit ia berada di jajaran terdepan. Pak Presiden tersenyum. Siti kini hanya bisa menatap Pak Presiden. Tak bisa berbuat apa-apa. Hingga Pak Presiden mendekatinya, membelai rambutnya yang lusuh, dan berkata, “Sabar, ya gadis kecilku…”
Siti pun menitikkan air mata keharuan. Hatinya berkata, mungkin jika semua ini tak terjadi, Pak Presiden tak akan datang.

27 Mei 2006
unforgettable moment …
Wish Allah always will be with us…

Rintihanku Tentang Bunda


Rintik-rintik air hujan masih terus membasahi bumi kala ku termenung di kamar menatapnya. Awan hitam masih menggelayut di langit yang seharusnya biru. Pikiranku terus mengembara diantara kisah-kisahku.
“Ri, aku pengen curhat denganmu,” aku beranjak dari tempatku duduk menuju meja belajar.
Ri masih terdiam.
“Ri, kenapa sih aku dilahirkan seperti ini? Kenapa nasibku seperti ini? Aku tak paham… Aku benci semua ini, Ri!!! Kenapa ibu seakan tak memperhatikanku? Terus saja sibuk dengan kehidupannya… Sedari tadi pagi aku belum makan nasi, aku hanya makan sepotong roti, oleh-oleh paman. Sepulang sekolah ketika kubuka tudung saji tak ada sebutir nasi atau lauk pun terpampang di pelupuk mataku. Hanya ada sepotong kue kecil di atas piring. Mereka benar-benar tak memperhatikanku!!! Aku tahu kesibukan mereka, Ri… Aku tahu, Ri! Tapi…” isakan tangisku mulai terdengar, tetes air mata jatuh seperti gerimis di luar sana.
“Tapi seenggaknya kasih sayangnya… kasih sayang mereka padaku bertambah, Ri…” aku akhirnya meninggalkan Ri sendirian di kamar. Ri masih diam saja.
* * *
Dua hari kemudian…
“La, ibu mau ke Bali sekitar seminggu ke depan, berangkat besok Senin sore. Kamu bantu Mbok sama bapak di rumah, ya! Udah mulai libur, kan?” ibu mengatakan hal itu ketika aku menyelesaikan membaca novel yang lagi hot dibicarain di sekolah.
Aku terhenyak seketika, “Acara apa sih, Bu? Nggak bisa ditinggal, ya?”
Ibu mengambil cangkir kopinya lalu meneguknya, “Studi banding di sana, masak mau ditinggal? Ibu ndak tega sama teman-teman.”
Aku terdiam. Tiba-tiba saja ide-ideku lenyap. Kubiarkan novel itu tergeletak di sofa. Aku beranjak ke kamar mandi.
“BYURR!!!”
Guyuran air ke mukaku membuat dingin wajahku. Tapi hatiku ini tak jua dingin. Aku masih belum bisa menerima. Aku tak bisa ditinggalkan ibu meskipun sebenarnya tiap hari ibu seakan juga tak mempedulikanku. Entah kenapa hati kecilku tak rela. Mungkin kasih ibu yang tak kurasakan masih bisa dirasakan hati kecilku ini.
Aku kembali ke sofa dengan membawa susu cokelatku.
“Hanya seminggu kok, La. Besok Ibu beliin oleh-oleh, deh! Kamu mau apa? Baju, souvenir, atau makanan?” ucap ibu seraya menyeruput kopinya kembali.
Aku turut meneguk susu cokelatku lalu aku terdiam sejenak.
“Terserah Ibu. Tapi aku pengen souvenir aja..” ucapku datar. Aku tak tega untuk tak menjawab pertanyaan ibu.
“Ya, sudah besok Ibu beliin.”
* * *
Hari Senin pun tiba.
Koper besar sudah terisi pakaian ibu. Ibu masih berada di kamarnya memperkirakan barang apa lagi yang harus dibawanya. Hingga detik demi detik berlalu, Senin sore telah berada di depan mata.
“La, Ibu berangkat dulu, ya! Jangan lupa bantu Mbok dan Bapak, ya?!” ibu menepuk bahuku lalu mencium keningku.
Aku hanya mengangguk pelan. Dadaku terasa sesak.
Setelah mobil yang membawa ibu berlalu menuju bandara, aku lari ke kamar. Kukunci pintu lalu kehempaskan tubuhku ke atas ranjang. Kubenamkan kepalaku di bawah bantal. Kutumpahkan air mata yang telah mendesak-desak kelopak mataku. Aku menangis. Isakanku semakin keras ketika aku teringat kekesalanku kepada ibu. Selimutku menjadi korban pengusap air mata. Ujung-ujungnya terasa basah.
Tak terasa aku tertidur. Ketika aku bangun jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Astaga!!! Aku bangun menuju kamar mandi, cuci muka. Lalu kugapai handphoneku.
1 pesan diterima.
“Met tidur ya, say!”
“Dari ibu?” aku heran.
Bahasa SMS ibu tak seperti biasanya.
“Say? Darimana ibu dapat kata-kata itu?” batinku.
Keherananku makin bertambah ketika aku sadar bahwa ibu ternyata memperhatikanku. Tetapi kenapa kalau di rumah ibu tak seperti ini. Kebingunganku akhirnya sirna perlahan-lahan bersama rasa kantukku yang kian tak tertahankan.
* * *
“Mbok, ada yang perlu dibantu nggak?”
“E…apa ya, Mbak? Ini aja tolong jagain gorengan ini, Mbok mau ke warung sebentar, beli bawang merah sama bumbu yang lain. Atau Mbak aja yang beli ke warung?” Mbok yang sudah melangkah, membalikkan tubuhnya lagi.
“Mbok, aja! Aku ndak tau apa yang mesti dibeli.” Aku pun melangkah menuju pengorengan.
“Jangan sampe gosong lho, Mbak!” pesan Mbok.
“Ya, Mbok!” aku mengiyakan.
Aduh, lama banget sih matangnya! Dari tadi bolak-balik belum kecokelatan warnanya. Mendingan nyelesaiin baca novel yang kemarin barusan dibeli.
Aku melangkah menuju kamar mengambil novel. Sedetik kemudian aku sudah berada di sofa yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Aku sudah terlarut dalam keasyikanku ketika tiba-tiba…
“Mbak!!! Gosong, nih!” teriak Simbok dari dapur.
Aku terhenyak. Kaget. “HAH!!! Maaf, Mbok, habis tadi lama banget sih warnanya berubah jadi kecokelatan. Sini kubantuin masak lagi, deh!”
“Bisa nggak ngiris bawang merahnya, dikupas dulu jangan lupa!” Mbok memberikan instruksi lagi.
Aku mengambil pisau. “Coba dulu, ya, Mbok!”
“He’eh,” Mbok menganggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian…
“Aduh!!!”
“Kenapa, Mbak?” Mbok menoleh padaku.
“Luka, Mbok. Aku ambil obat merah dulu, ya!” Aku berlari ke kotak obat di pojok ruang sebelah.
Ternyata susah, ya jadi ibu. Harus ngerjain ini itu, belum lagi kalau anaknya masih kecil. Kasihan ibu…
* * *
Hari ini ibu pulang. Aku harus menjemputnya di bandara. Bapak tak bisa menjemput. Ada urusan dengan rekan kerjanya. Sebenarnya aku enggan tapi siapa lagi kalau bukan aku yang menjemput.
Pukul 10.00 pagi, aku sudah stand by di bandara. Menantikan kedatangan ibu dengan menunggu. Membosankan. Beberapa waktu kemudian ibu tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Makasih, ya, La mau njemput Ibu di bandara,” Ibu tampak bahagia.
“Sama-sama,” Aku memaksakan tersenyum. Beberapa kejadian menyebalkan bersama ibu masih terngiang di benakku.
“Pulang, yuk!” ajak Ibu.
Aku hanya mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar. Belum sempat aku melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam terdengar suara Ibu.
“La, nih oleh-oleh buat kamu!” teriak Ibu sambil mengetuk pintu.
Kuputar handle pintu. Ibu mengangsurkan sekantung plastik besar ke tanganku.
“Makasih, Bu,” Hanya itu yang sanggup kuucapkan.
Ibu kembali ke kamarnya sedangkan aku kembali masuk ke dalam. Pelan-pelan kusibakkan plastik itu dan kukeluarkan isinya perlahan-lahan. Ada baju plus rok panjang, ada kalung dari kayu yang berbentuk bulat, ada ukiran Bali, dan ada lukisan panorama alam Bali. Wow!! Aku suka lukisan panorama. Aku telah memimpikannya sejak dulu tapi kalau aku minta uang kepada ibu, ibu selalu menjawab ‘besok’.
Aku segera berlari ke kamar ibu. Tanpa sempat mengetuk pintu aku masuk ke dalam. Tampak ibu sedang di ranjang memegang ponsel. Aku menghamburkan tubuhku ke pelukannya, pelukan terhangat. Lalu entah sadar atau tidak aku mengucapkan, “I love you Mom!”

Ganbar copas dari: andikabayuherbowo.wordpress.com.