Minggu, 04 September 2011

Menjejak Asia, Menyapa Eropa, Melintas Amerika dan Canada, Menapak Australia

[catatan re-posting tertanggal Thursday, December 3, 2009] 
 

 I am a traveler seeking the truth, a human searching for the meaning of humanity, and citizen seeking dignity, freedom, stability and welfare under the shade of Islam. I am a free man who is aware of the purpose of his existence and calls, truly, my prayer and my sacrifice, my life and my death, are all for Allah, the Cherisher of the worlds; He has no partner. This I am commanded and I am among those who submit to His Will. This is who I am. Who are you?
-Hasan Al Banna-

Mengulang kembali judul di atas “Menjejak Asia, Menyapa Eropa, Melintas Amerika dan Canada, Menapak Australia”, melalui The Journal of a Muslim Traveler karya Heru Susetyo. Advokasi HAM dan advokasi sosial melalui PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia) adalah hal yang membuatnya betah menjadi pengacara jalanan, konsultan hukum keluarga, penyelidik swasta, dan aktivis HAM. Bersama PAHAM dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), ia melanglang buana hingga Maluku, Poso, Sambas, Aceh, dan turut melakukan kampanye kemanusiaan ke Australia-Selandia Baru dan empat negara di Eropa Barat pada tahun 2000. Heru juga menempuh pendidikan advokasi tambahan di Chicago, Wellington-New Zealand, Taiwan, Jepang, serta mengikuti berbagai seminar dan training terkait di Denver-USA, Salzburg-Austria, Shanghai-China, Tokyo & Kyoto-Jepang, Davao-Philipines, Chiang Mai-Thailand, dan Penang-Malaysia.

Dari beberapa perjalanan tersebutlah Heru terinspirasi untuk membukukannya dalam kaca mata dan bingkai kata Muslim.

Bersyukurlah, kita dilahirkan, besar, dan hidup di bumi Indonesia. Itulah kesimpulan yang dapat saya tarik dari catatan-catatan Heru. Mengapa? Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kita bebas melaksanakan ibadah dengan fasilitas yang sangat memadai (meski terkadang kita masih juga mengatakan ‘kurang memadai’) serta hak asasi yang benar-benar dihormati.

***

Sebagai contoh, masyarakat Thai non muslim relatif berlaku baik. Hanya saja penegetahuan mereka tentang Islam amat minim. Mereka hanya memahami Islam sebatas melarang makan daging babi. Di samping itu, Lebaran Haji tidak menjadi libur nasional, sama halnya dengan Idul Fitri. Ya, tidak seperti di Indonesia bukan? Di Chulalongkorn University, Thailand, ada sekitar 100 mahasiswa dan pegawai Muslim. Namun hanya ada satu mushola kecil yang hanya berukuran 6x3 meter dengan bentuk yang tidak persegi empat. Nyaris berbentuk segitiga di mana di bagian imam mushola menyempit menjadi hanya berukuran dua orang dewasa saja. Bagaimana dengan masjid dan mushola yang betebaran di bumi Indonesia ini?

***

“Semua pun tahu bahwa Amerika adalah negara yang sekuler. Walaupun sekuler di sini diartikan sebagai pemisahan antara negara dan gereja. Namun yang membuat penulis masih tak habis pikir sampai kini adalah azan dan doa pun dipermasalahkan di sini (Amerika-red). Penulis pernah diprotes tetangga sebelah kamar karena menghidupkan alarm azan subuh di kamar pribadi penulis pada pukul enam pagi. Uniknya ia tak tahu kalau itu suara azan. Ia berkata, “Harap anda jangan menyetel musik India atau Buddha pada pagi hari Sabtu. Ini waktu saya untuk beristirahat dan saya tak mau terbangun di pagi hari Sabtu oleh suara musik India tersebut!” Padahal, suara alarm azan tersebut tidak sangat keras, pula disetel di kamar pribadi penulis. Bayangkan kalau ia tinggal di Jakarta di mana jam tiga pagi pun terkadang surau-surau di RT sudah berlomba mengaji dan mengumandnagkan azan.” [pg. 185-186]

“Tak ada larangan untuk shalat memang, tapi bahwasanya seorang Muslim harus shalat lima waktu dalam sehari banyak yang tak mengetahuinya. Alhamdulillah kendala tempat ini tak mengurangi warga Muslim untuk menunaikan shalat. Penulis sering melihat mahasiswa Muslim shalat di perpustakaan kampus, di tempat parkir supermarket, hingga di taman-taman umum. Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap bahwa shalat adalah bagian dari ritual terorisme.” [pg. 187-188]

Betapa sebenarnya Indonesia sangat menghormati umat Muslim. Hanya saja terkadang kita tak menyadarinya. Umat Muslim di negara-negara yang disambangi Heru sebenarnya sangat berharap banyak kepada Indonesia. Salah satunya kata-kata Maryam-san, mualaf dari Jepang, “Tolonglah bantu kami para mualaf di Jepang. Kirimkan para da’i dan bantulah membangun pendidikan Islam di Jepang. Jangan terlalu pelit dengan ilmu yang anda miliki. Saya melihat banyak orang pintar agama Islam di Indonesia. Maka, bagi-bagilah ilmunya ke Jepang.”

Sekarang, apa yang akan kau lakukan teman? Bergeraklah.

”Hikmah adalah harta benda kaum Muslimin, di manapun ia berada kita wajib mendapatkannya.”
-Heru Susetyo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar