Tampilkan postingan dengan label kajian jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kajian jawa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juli 2011

Solo International Performing Art 2011

Ini dia hajatan besar pemerintah kota Surakarta di bulan Juli 2011 yang telah saya tunggu-tunggu. Setelah sepekan yang lalu pemerintah kota Surakarta menyelenggarakan Solo Batik Carnival, kini giliran gelaran pentas seni internasional. Acara ini digelar pada 1-3 Juli 2011 malam hari pukul 19.00-23.00. Berbagai duta dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara turut serta dalam even ini, yaitu: Korea, Didik Nini Thowok (Jogja), Sanggar Seni Al Ashri (Makassar), Janis Branner (USA), Pontianak, Jakarta, Thailand, Teater Aron (Medan), Jawaharlal Nehru (India), I Nyoman Sura (Bali), Saung Udjo (Bandung), Malaysia, Cirebon, Belanda, Meksiko, dan Solo.

Sayangnya saya hanya berkesempatan menikmati penampilan sedikit dari Bandung di detik-detik terakhir hari kedua. Kemudian di hari ketiga sekaligus hari terakhir, saya dating lebih awal dan beruntung bisa menikmati performansi delegasi Belanda, Meksiko, dan Solo.

Delegasi Belanda mempertunjukkan tarian teatrikal dengan makna kurang lebih bahwa “keberagaman seni, budaya, dan tradisi bukanlah sesuatu yang dapat memicu permusuhan, melainkan keberagaman tersebut seharusnya menjadi poin untuk saling mendukung dan menghargai perbedaan yang ada.” Kostum putih-putih dan gerakan tarian yang tangkas dan gesit cukup menakjubkan meskipun lama-lama membosankan, karena beberapa gerakan yang sama diulang-ulang. Pada akhir pertunjukan munculah sosok dengan kostum berbeda –batik—yang menyimbolkan perbedaan yang ada. Dari momen itulah konflik memuncak dan akhirnya tiba di epilognya.

Berbeda dengan delegasi Belanda, Delegasi Meksiko menampilkan tari-tarian khas Meksiko lengkap dengan lagu-lagunya. Pada lagu La Bamba –siapa sih yang tidak tahu lagu ini— beberapa penonton dipersilakan naik ke atas panggung untuk menari dan menyanyi bersama. Dengan bendera merah putih di tangan, mereka berputar-putar kemudian sejenak berhenti untuk menarikan gerakan kaki cepat, dan berputar lagi. Tampak sekali rasa penghargaan dan humanisme di sini.

Dan yang paling mengesankan adalah performansi sang tuan rumah, Solo. Kombinasi antara nyanyian, tarian, teatrikal, dan pedhalangan berbaur menjadi satu. Durasi waktu yang lebih lama memaksimalkan performansi mereka. Dentuman musik modern yang mengiringi lagu-lagu tradisional –seperti Cublak-Cublak Suweng dan Gambang Suling— pertunjukan dhalang cilik wanita serta minidrama bocah-bocah memberi sensasi baru pada pertunjukan tradisional Jawa. Mengesankan!

Setelah performansi Solo berakhir, maka upacara penutupan SIPA dimulai. Walikota Surakarta, Joko Widodo, memukul gong. Tepat setelah itu luncuran bunga-bunga api ke angkasa dimulai dan memekarkan cahaya-cahaya yang mengagumkan.

Wow, it’s such a great night!

*sayangnya saya selalu mendapat tempat di belakang sehingga terlalu jauh untuk membidikkan lensa kamera.

Minggu, 10 Juli 2011

Urip Iku ...

taken from here
Suddenly i found this words. Words i got when attending Arsitektur Jawa Lanjut session last semester. Words that give a deep meaning for me...=)

Urip iku ora ana kang nguripi. Urip ki urip ijen. Ning urip nguripi sakkabehing urip. Kabeh ana merga kalenggahan urip. Urip sing ngemong, urip ki sing Maha Suci, sing miring jagad, sing kagungan. Ora ana manungsa kang duwe. Hooh, mangkat ra nggawa apa-apa, mengko bali ra nggawa apa-apa. Mula kowe wus ana kanggo turu, wis isa mangan, wis, kuwi wis matur nuwun. Mengko kowe bali ra nggawa apa-apa. Ngertia ngger ya! Bektia! Sungkema karo Kang Maha Suci! Sungkema! Urip iku, Guru Jati, Pepundhen Jati, Sesembahan Jati kang mangolah marengga ragamu rina wengi, lan nggendong ragamu ngalor ngidul. Urip iku sing Maha Kuwasa. Urip iku ngebaki jagad. Sing cedhak urip iku ana telenging rasa jati. Nek digambarake, urip iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. Genggang sak rambut pinara pitu ngglethak.

Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta

--sekedar oleh-oleh dari kuliah satu semester Arsitektur Jawa Lanjut. Sebuah review dari disertasi dosen --Dr Titis Srimuda Pitana, ST MT-- Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

Bagi manusia Jawa, selain sebagai tempat tinggal, rumah juga merupakan sesuatu yang selalu dinapasi oleh manusia dan memiliki jiwa. Oleh karena itu, rumah Jawa tidak sekedar memperhatikan segala aspek yang terkait dengan arsitektur secara fisik, tetapi juga memperhatikan segala simbol, baik dari jiwa manusia sendiri, lingkungan (alam), maupun Tuhan sebagai Sang Pencipta.

Begitu pun yang terjadi pada proses rancang bangun Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dibangun dengan memikirkan unsur magis dan kesakralan yang tinggi, terkait dengan posisi geografis, sejarah, serta wahyu yang selalu dihubungkan dengan kekuatan mistis. Kekuatan mistis yang dimaksud di sini adalah kekuatan yang tak tampak, hasil perpaduan antara kekuatan lahiriah dan batiniah; logis dan non logis; kasar dan halus; tampak dan tidak tampak; fisik dan metafisik. Manusia arkhais Jawa sangat dikenal dengan prinsip mikrokosmos dan makrokosmosnya termasuk dalam tubuh Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dalam persepsi keyakinan manusia Jawa dianggap sebagai pusat kosmos budaya Jawa.

Namun tujuan dan dasar awal pembangunan Keraton Surakarta tersebut ternyata dalam perjalanannya tidak sejalan dengan perkembangan zaman, terutama setelah pergantian kepemimpinan raja, masuknya faktor keberadaan penguasa kolonial Hindia Belanda, hingga pada akhirnya Indonesia merdeka. Dekonstruksi ini disebabkan tidak lain karena kematian metafisika Keraton Surakarta, yang secara tidak langsung dapat dikatakan diingkari oleh pihak-pihak yang tidak memahami konsep-konsep yang dianut di dalam tubuh Keraton Surakarta. Pada akhirnya kini Keraton Surakarta seakan telah mati suri.

Sebelum mendapatkan pengaruh dari kolonial, Keraton Surakarta dikenal sebagai penguasa Jawa, pewaris Dinasti Mataram, yang memiliki dominasi kekuasaan dalam bidang pemerintahan, sosial, agama, serta pengembangan dan pelestarian kultur Jawa. Pada masa itu gelar raja, yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, benar-benar memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi sehingga raja dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan, di luar kekuatan dan kekuasaan manusia biasa.

Namun setelah kolonial mulai menguasai tanah Jawa, sedikit demi sedikit pengaruh yang dibawanya pun mulai mengikis sendi-sendi yang dimiliki Keraton Surakarta. Dimulai dengan sedikit demi sedikit meminta tanah-tanah yang dimiliki Keraton, terutama daerah pesisir atau mancanegara, yang jauh dari inti Keraton, lalu politik adu domba yang memecah belah kekuasaan hingga akhirnya Keraton Surakarta terbagi menjadi empat yaitu Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton yang dikenal sebagai Keraton Surakarta), Keraton Kasultanan Yogyakarta, Keraton Mangkunegaran Surakarta, serta Keraton Pakualaman Yogyakarta. Kemudian tipu daya yang dilakukan pihak kolonial yang terkesan membodohi pihak Keraton Surakarta sehingga Keraton Surakarta pada akhirnya menjadi boneka kolonial.

Pun tidak berhenti sampai saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Setelah Keraton Surakarta menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedikit demi sedikit metafisika yang dibawa pada saat awal pembangunan, perlahan mulai luntur. Predikat swapraja atau Daerah Istimewa Surakarta dicabut setelah melalui pergantian gubernur. Di samping itu, posisi sentral Keraton Surakarta pun mulai bias dengan adanya pemerintahan kota.

Perjalalanan sejarah Keraton Surakarta khususnya setelah pindah lokasi ke posisinya sekarang, hingga bergabung dengan NKRI, menunjukkan bahwa Keraton Surakarta sejatinya nyaris tak pernah berdiri sendiri. Sebelum Indonesia merdeka, Keraton Surakarta telah menjadi boneka bagi kolonial. Dengan berbagai strategi politiknya, kolonial telah menguasai sebagian besar asset Keraton Surakarta. Dan pihak Keraton terlalu ikhlas untuk menerima semua perlakuan tersebut tanpa banyak perlawanan, terkecuali pada saat pemerintahan Pakubuwono VI. Namun perlawanan tersebut pun meminta pengorbanan dengan diasingkannya Pakubuwono VI ke Ambon.

Kini setelah merdeka, Keraton pun tidak memiliki otoritas pemerintahan sendiri. Keraton menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bagian dari negara, Keraton justru terlihat sangat semakin kehilangan kewibawaannya. Kompleks Keraton Surakarta kini telah dibagi-bagi ke dalam empat bagian yang masuk ke dalam bagian dari empat kelurahan di Surakarta. Pembagian Keraton menjadi empat bagian ini bukankah tidak lain semakin memecah tubuh Keraton Surakarta yang tanah-tanah kekuasaaannya telah dipecah-pecah saat kolonial masih berkuasa.

Jika negara memiliki alasan untuk mengurangi beban anggaran pembiayaan perawatan keraton, seperti kebersihan lingkungan dan pengecatan tembok benteng, sejauh hal tersebut dapat direalisasikan, tentunya tidak menjadi masalah. Namun, fakta yang berada di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kompleks Keraton Surakarta saat ini terlihat sangat kumuh dan terpuruk tidak terawat. Ruang-ruang yang kini dijadikan ruang publik masyarakat Surakarta seperti Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan pun seperti tertelantarkan. Keraton rasanya benar-benar telah kehilangan kewibawaannya.

Kesadaran negara yang telah mengambil alih penanganan bagian-bagian kompleks Keraton Surakarta belum menunjukkan konsekuensi atas putusan yang telah diambil pada masa lalu. Ditambah dengan sikap Keraton Surakarta yang terkesan pasrah atas status yang diembannya, memperlihatkan Keraton Surakarta telah gagal mempertahankan eksistensinya. Keraton Surakarta yang dahulu kala merupakan penguasa tanah Jawa, kini terkesan telah kalah dilibas oleh tata aturan pemerintah.

Keraton saat ini juga lebih dikesankan sebagai cagar budaya yang merupakan asset pariwisata yang menunjang aspek komersialisme. Keraton Surakarta di masa kini telah menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan. Tetapi apakah benar hal tersebut sesuai dengan tujuan undang-undang dan keputusan presiden yang pernah dikeluarkan? Jika kemudian Keraton yang menjadi asset pariwisata telah didominasi berbagai kepentingan kapitalisme dan komersialisme. Jadi bukannya Keraton Surakarta yang dominasi menunjang aspek komersial, tetapi justru tubuh baru yang tumbuh di bagian tubuh tersebut, baik dalam skala kecil maupun skala besar; pedagang kaki lima, maupun pengusaha pusat perbelanjaan.

Kalangan pengusaha kelas atas memanfaatkan lahan di dekat Gapura Gladag dengan membangun pusat-pusat perbelanjaan modern, sedangkan rakyat biasa memanfaatkan hampir setiap sudut kompleks Keraton yang memiliki lokasi strategis. Lihat saja, mulai dari area Gapura Gladag hingga Gapura Pamurakan terkadang dapat dijumpai pedagang kaki lima. Kemudian berbelok ke kanan terdapat kios-kios buku bekas. Berbelok ke kiri terdapat kios-kios batu akik, kaca mata, dan berbagai macam kios di sekeliling alun-alun utara. Sedangkan di Alun-Alun Selatan yang dalam filosofinya identik dengan tanah yang kosong dan hampa, kini telah menjadi sangat kontras karena setiap sore dapat dijumpai keramaian pasar kaget. Dan di Alun-Alun Selatan tersebut, keberadaan kerbau bule milik Keraton Surakarta, menjadi unsur magnet komersial juga meski dengan mirisnya ditempatkan di area Sitihinggil Selatan.

Kemegahan skyline Keraton Surakarta kini telah pudar dilibas ketinggian bangunan pusat perbelanjaan. Demikian pula dengan bangsal-bangsal yang terdapat di sekeliling alun-alun utara. Bangsal-bangsal tersebut jika diamati memang masih ada, namun kondisinya tidak terawat dan tertutup dengan gelaran kios para pedagang.

Tidak hanya secara fisik kapitalisme dan komersialisme yang terjadi, bahkan secara non fisik pun mudah dijumpai yang mana hal tersebut pernah sangat mengecewakan raja. Kapitalisme dan komersialisme di lingkungan Keraton Surakarta yang bertalian secara langsung dengan unsur non fisik dimulai dengan pemungutan pembayaran pada perayaan sekaten dan penggunaan area Keraton sebagai lahan parkir.

Kontras sekali dengan keadaan ekonomi di dalam Keraton Surakarta. Raja yang tidak dapat lagi memungut pajak, dihadapkan pada kewajiban besar yaitu menjamin kesejahteraan para abdi dalem yang entah meskipun digaji sangat kecil, kesetiaan mereka masih utuh. Para abdi dalem masih begitu menghargai junjungannya, masih menganggap bahwa Keraton membawa berkah dan keberuntungan bagi kehidupan mereka. Di samping itu, raja juga masih menanggung keterjagaan dan perawatan arsitektur keraton, namun bahkan hal yang dalam taraf kecil pun masih luput, sepeti pengecatan tembok beteng atau perbaikan jaringan listrik. Yang tidak kalah penting adalah terkait dengan kedudukan Keraton Surakarta saat ini yaitu sebagai pusat dan pengayom budaya Jawa. Keraton harus menjaga eksistensi budaya dan ritual yang sudah turun temurun dilakukan di Keraton Surakarta pada event-event tertentu. Sedikitnya subsidi dana dari pemerintah menambah lengkap sudahlah nasib keterpurukan Keraton Surakarta yang telah diterjang realitas globalisasi dan modernisasi.

Mungkin tidak banyak lagi yang peduli dengan hal tersebut, setelah globalisasi menyerang bangsa ini, dan mempengaruhi kehidupan dan budaya manusia Jawa. Budaya ketimuran manusia Jawa yang dikenal sebagai masyarakat arkhais, kini telah banyak ditinggalkan. Generasi muda mayoritas telah memalingkan muka dari budaya ketimuran dan menyambut trend yang berasal dari dunia barat. Memang tidak salah jika dikatakan budaya barat banyak membawa keuntungan bagi bangsa ini. Sebagian besar teknologi maju pun berasal dari dunia itu yang memang menjunjung tinggi realisme. Namun bukankah akar budaya manusia Jawa juga memiliki cirri khas tersendiri, yang menjadi karakter unik masyarakat timur.

Dilihat dari segi pola tata ruang, Keraton Surakarta masih dapat dikatakan dalam kondisi baik dan masih terjaga. Pola tata ruang tersebut setidaknya masih mewakili sedikit aspek metafisika Keraton Surakarta. Pola tata ruang Keraton Surakarta dari Gapura Gladhag sampai dengan Gapura Gading merupakan simbolisasi perjalanan kehidupan manusia dari lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga akhirnya menghadap kepada Sang Maha Kuasa. Simbolisasi ini jika dimaknai lebih lanjut merupakan ajaran tentang pandangan dan sikap hidup manusia Jawa. Hal ini hanyalah salah satu dari simbol-simbol lain yang diaplikasikan dalam fisik arsitektur Keraton Surakarta. Banyaknya simbol tersebut sesuai dengan prinsip dan karakter hidup manusia Jawa yang banyak menggunakan simbol dalam arsitektur bangunannya. Simbolisasi ini merupakan metafisika yang masuk dalam kerangka wacana batin ini, memang sulit jika dimaknai secara rasional seperti halnya falsafah yang dianut bangsa barat. Aspek-aspek ketimuran sering dianggap mistis karena gagasan pemikirannya banyak yang sulit dipahami, diterima akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya.

Kini, Keraton Surakarta seakan telah menjadi sesuatu yang patut dimuseumkan. Banyak hal yang telah banyak membuat miris saat mendengar perjalanan nasibnya. Keraton sekarang tak ubahnya rumah biasa, hanya saja struktur ruang dan arsitekturalnya serta penghuninya yang luar biasa. Namun status, kedudukan, serta kewibawaan Keraton Surakarta beserta raja telah jatuh, atau bahkan malah telah hilang.

Raja tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya sebagai pengayom kebudayaan Jawa setelah wilayah kepemerintahannya diambil oleh negara yang dalam hal ini diserahkan kepada Pemerintah Kota Surakarta. Bukankah hal itu seakan berbalik 180 derajat jika dahulu kala Raja Keraton Surakarta memiliki tanah kekuasaan yang sangat luas, sedangkan saat ini wilayah kekuasaannya hanyalah Keraton Inti. Bahkan dalam praktiknya Keraton tersebut bukan lagi dalam kekuasaan raja karena sebagian masih ada pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB).

Dengan ikhlas raja telah menerima nasibnya seperti halnya falsafah yang dianut turun temurun di dalam keraton: nut kelakone jaman. Kini raja memiliki kekuatan baru yang masih diakui oleh masyarakat pendukungnya yaitu sebagai sentral pelestarian dan pengembangan budaya Jawa serta sebagai pihak yang netral dalam dunia perpolitikan dengan menjadi seorang peacemaker.

Hilangnya kedudukan Keraton Surakarta sebagai pusat pemerintahan atau pusat perpolitikan ternyata tidak menghilangkan posisi sentral Keraton Surakarta sebagai pusat budaya Jawa yang bertugas menjaga dan mengemban kebudayaan Jawa. Peluang tersebut dapat menambah eksistensi Keraton Surakarta yang dapat memainkan aspek budaya secara kreatif sebagai simbol pengabdian kepada masyarakat Surakarta.

Hal tersebut telah dikembangkan oleh GRAy Koes Murtiyah, adik Pakubuwono XIII, yang mendirikan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta Hadiningrat. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pendidikan dan pagelaran tari, karawitan, pedalangan dan pambiwara, keagamaan, keprajuritan, rekso pusaka, batik dan kepustakaan; telah menjadi cikal bakal pengembangan Keraton Surakarta sebagai afinitas kutural masyarakat Surakarta. Embrio tersebut jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin Keraton Surakarta akan kembali eksis sebagai sentral di tengah-tengah masyarakat Surakarta meskipun tidak lagi dalam lingkup politik kepemerintahan, namun budaya Jawa.

Selain itu status priyayi yang disandang oleh komunitas Keraton membuat orang bersangkutan menjadi tepandang dan dihormati. Keraton kemudian menjadi rujukan orang-orang penting seperti pejabat, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan pengusaha, untuk berkunjung dengan berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain membahas persoalan bangsa, meminta doa restu, dan menerima gelar kehormatan.

Terkait pembahasan persoalan bangsa, Keraton masih dianggap sebagai sumber kearifan, selain karena raja berkedudukan sebagai pengayom masyarakat dan keberhasilannya memainkan peran sebagai peacemaker. Sedangkan dalam kepentingan meminta doa restu, telah masuk unsur kepentingan politik meskipun tidak secara langsung. Umumnya para pejabat dan tokoh politik akan berkunjung ke Keraton pada saat akan menjelang pemilihan umum (pemilu). Saat raja memberikan restu, maka rakyat sepantasnya mendukung.

Sedangkan terkait untuk kunjungan untuk menerima gelar kehormatan, dalam faktanya menumbuhkan satu keganjilan saat Keraton Surakarta secara berkala memberikan gelar kebangsawanan kepada orang-orang di luar komunitas Keraton Surakarta, yaitu orang-orang non bangsawan. Dari tahun ke tahun, keroyalan pihak Keraton Surakarta dalam memberikan gelar semakin meningkat. Bahkan kriteria gelar yang oleh Nurcholis Madjid disebutkan ada tiga yaitu kualitas pribadi, kapabilitas intelektual, dan kerja nyata bagi kemajuan masyarakat terlihat tidak lagi diperhatikan.

Hal tersebut setidaknya telah tampak pada pemberian gelar kebangsawanan kepada Manohara Odelia Pinot dan Robby Sumampow. Kasus pemberian gelar kepada Manohara, telah menimbulkan perbedaan persepsi. Keraton berharap dengan memberikan gelar tersebut saat ia sedang menghadapi masalah dengan mantan suaminya dari Kerajaan Kelantan Malaysia, Manohara dapat memiliki tanggung jawab lahir dan batin, menjadi suri teladan nilai budaya, termasuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang terhormat. Namun pihak Manohara sendiri beranggapan bahwa pemberian gelar tersebut atas dasar perjuangan hidupnya yang gigih dan tak kenal lelah. Manohara juga mengatakan bahwa di Malaysia, ia mendapatkan gelar Cik Puan Tumenggung. Jadi ia ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Malaysia yang dapat memberikan gelar, Indonesia pun bisa.

Sedangkan kasus pemberian gelar kehormatan kepada Robby Sumampow, seorang pengusaha tempat hiburan modern, menunjukkan ketidakberdayaan Keraton dalam menghadapi tantangan ekonomi. Pemberian gelar kepada Robby itu dianggap tidak memiliki relevansi sama sekali terhadap unsur budaya. Apalagi pemberian gelarnya dilakukan tidak dalam upacara Jumenengan, tetapi di panggung hiburan. Rupanya raja telah bertekuk lutut hingga status kebangsawanannya seakan sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Apabila pemberian gelar kehormatan ini telah menjadi benda ekonomi yang memiliki nilai jual tinggi, mungkin tidak mengherankan apabila raja pun rela mengorbankan gelar kebangsawanannya sendiri. Mengingat kebutuhan ekonomi Keraton yang banyak, sedangkan subsisi dari negara sedikit. Adapun komersialisme dan kapitalisme yang terjadi di lingkungan Keraton Surakarta tidak menyuplai dana terhadap kebutuhan ekonomi Keraton sendiri.

Kini Keraton Surakarta sering hanya dipandang sebagai cagar budaya dan simbol kejayaan feodalisme yang telah mati. Pandangan yang berawal dari gerakan intelektual kelompok pemuda didikan Jepang ini kemudian memunculkan Gerakan Anti Swapraja. Gerakan ini beranggapan bahwa menjadikan Keraton Surakarta sebagai daerah istimewa (swapraja) hanyalah akan memberikan raja berikut Keraton Surakarta kekuasaan politik dan wilayah, yang mana itu berarti pula menghidupkan kembali semangat feodalisme.

Sejarah yang telah terjadi ini mungkin memang tidak bisa disalahkan. Tetapi ketika melihat, mendengar, dan membaca pro-kontra penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta berikut kedudukan Sultan saat ini sebagai gubernur, bukankah pengalaman sejarah yang pernah dimiliki Keraton Surakarta ini bisa dijadikan tolok ukur?

Bukan dengan maksud menghidupkan kembali semangat feodalisme yang dianggap tidak sejalan dengan genta demokrasi saat ini. Toh masyarakat Yogyakarta pun tidak pernah berontak dengan kepemimpinan Sultan. Aset-aset budaya masih terjaga dengan baik tanpa meninggalkan sisi kepariwisataannya. Tetapi memang jika Surakarta kemudian dikembalikan lagi sebagai daerah swapraja dengan kekuasaan kembali ke raja Surakarta, akan seperti membalikkan kembali roda sejarah yang telah berputar, dan itu akan sulit direalisasikan.

Jadi ada baiknya negara mempelajari kembali sejarah perjalanan Surakarta, khususnya Keraton Surakarta. Setidaknya kewibawaan raja tidak dijatuhkan seperti saat ini. Jika Keraton memang merupakan asset pariwisata, setidaknya kondisinya akan lebih terawat sehingga eksistensi Keraton Surakarta pada khususnya, dan eksistensi kota Surakarta bahkan Indonesia dapat meningkat. Bukankah asset pariwisata juga merupakan sarana promosi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan negara? Tetapi jika dalam kondisi yang sekarang, sepertinya tidak layak untuk dipromosikan.

Keraton Surakarta yang dikatakan telah kehilangan statusnya sebagai penguasa tanah Jawa setelah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keraton Surakarta bahkan juga dikatakan telah kehilangan hampir segalanya. Sebagai bagian dari NKRI tentunya sudah mutlak untuk mengikuti tata aturan yang telah diatur negara. Tata aturan tersebut justru menjadikan Keraton Surakarta lebih terkekang dan hanya dijadikan asset pariwisata dengan bungkus komersialisme. Dalam hal tersebut, maka tentunya negara juga dapat dikatakan telah kehilangan jati dirinya.


Solo Batik Carnival: When The Main Road Suddenly Became a City Plaza

Saturday night at 25th of June 2011, Solo –the spirit of Java, held a year big event. It was called Solo Batik Carnival. Held every year, mostly at mid-year. Solo Batik Carnival performing a carnival based on local culture especially ‘batik’. It was held in the main road of Solo: Slamet Riyadi Street, start at Purwosari train station and finish at Balaikota Surakarta.

In usual day, Slamet Riyadi Street was one of most busy street in Solo. Slamet Riyadi was main road in the center of city, connecting some part of city strategically. When Solo Batik Carnival held, the road is closed. Those area became a long and wide city plaza. Many people is gathering there with their family, their friend, or just came alone. Everyone looks very happy that time. Smile everywhere. Children run happily across the street without any parents worrying.

Here it is the atmosphere of Slamet Riyadi Street when the people waiting for carnival.

Oh yeaaa… this moment is also be a great gathering family time. Like this one "police and his little daughter" (entry below).

It is some captures of this Solo Batik Carnival event. So amazing… But I realized that I missed one frame, it is our “Solo’s Prince William”, Mr Jokowi, the regent of Solo City.

Overall, Solo Batik Carnival is still very amazing event that exploring a noble Javanese culture. Solo: the spirit of Java! Yeay.

And now, I waiting for another culture event: Yogyakarta Art Festival… and Solo International Performing Art.

Sabtu, 02 Juli 2011

Solo Batik Carnival (Juni 2011)

foto foto tanpa catatan. karena catatan tertinggal. tanpa deskripsi dan editing. karena terburu-buru. SIPA i'm comiiiiing!










putri indonesia

dunno why, but i like this one. totally exspression. =D

pasca pawai usai... plaza kembali menjadi jalan raya

Kamis, 19 Mei 2011

Nora Srakah Lamun Narima ing Pandum ala Manusia Jawa



“Orang Jawa tidak membedakan dengan jelas antara alam dunia kodrati dan alam adikodrati. Mereka tidak menguasai lingkungannya dan waktu, serta menerima kenyataan hidup sebagai suatu hal yang tidak bisa dirubah. Mereka menerima bahwa lingkungan itu seperti juga alam semesta, merupakan kekuasaan yang lebih tinggi darinya, sehingga lebih baik menyerah saja padanya.

-Neils Mulder, “Kepribadian Jawa dalam Pembangunan Nasional”. UGM Press, Yogyakarta, 1986.

picture from here

Kata-kata yang kubaca dalam salah satu halaman novel Atap-nya Fira Basuki itu kemudian mengingatkanku pada filosofi masyarakat arkhais Jawa: nora srakah lamun narima ing pandum. Ya, yang kurang lebih artinya menyerah saja pada keadaan...

Dalam Transformasi Nilai-Nilai Mistik dan Simbolik dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Ir Arya Ronald menuliskan:

“Masyarakat Jawa terbentuk dari pribadi Jawa dan keluarga Jawa yang secara umum telah menyadari bahwa dirinya hidup berada di antara empat kekuatan. Empat kekuatan tersebut digambarkan dalam empat arah, dan dari tiap pasang yang berseberangan dapat dibuat garis penghubung. Pada perpotongan kedua garis itulah terletak kedudukan manusia Jawa. Pada garis horizontal dia berada di antara kekuatan manusia hidup dan kekuatan roh manusia, sedangkan pada garis vertical dia berada diantara kekuatan Tuhan (Allah SWT) dan kekuatan alam.

Kekuatan Tuhan dianggap sebagai kekuatan spiritual yang tiada tandingannya. Roh manusia adalah kekuatan gaib yang tidak diketahui kenyataannya. Alam adalah kekuatan makrokosmos yang tidak mudah diukur secara tuntas. Manusia hidup adalah kekuatan mikrokosmos yang tidah mudah diukur kemampuannya.”

Mungkinkah budaya narimo ing pandum itu bertitik tolak dari keberadaan manusia Jawa pada perpotongan keempat kekuatan besar tersebut? Ya, kekuatan-kekuatan itu memang tidak dapat dilihat, tidak dapat diukur, tidak dapat diperkirakan, katakanlah KEKUATAN GAIB. Manusia Jawa tidak mampu melawan kekuatan-kekuatan tersebut? Sebenarnya bukankah itu tidak hanya berlaku bagi manusia Jawa? Toh kekuatan Tuhan dan alam itu berlaku bagi semua makhluk hidup...juga kekuatan manusia hidup. Sedangkan kekuatan roh manusia? Wallahu’alam... (percaya nggak percaya-red)

Lebih lanjut Ir Arya Ronald menuliskan bahwa tujuan hidup manusia Jawa tidak semata-mata hanya memenuhi tuntutan hidup dalam arti kata kebendaan atau materi. Manusia Jawa juga berusaha memenuhi tuntutan kebutuhan rohaniah demi mendapatkan perasaan hidup yang tenteram. Tuntutan kebendaan hanyalah memberikan ketenangan hidup yang berlangsung sementara, sedangkan ketenteraman dapat diharapkan berlangsung lebih lama, sepanjang masa. Oleh karena itulah kegiatan spiritual dan ritual menjadi bagian besar dari kehidupan manusia Jawa.

Kekuatan-kekuatan itu kemudian melahirkan kegiatan spiritual dan ritual bagi kehidupan manusia Jawa? Bahwa manusia Jawa kemudian menghormati keempat kekuatan tersebut?

*my unpredictable breakfast: arsitektur jawa lanjut =)) takjub!