“Perjalanan adalah proses menjadi kreatif dengan menemukan jalan terbaik pada kondisi terbatas.” Setidaknya itu yang dapat kuambil dari buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor.
Menjelang
pukul empat pagi, tersisa aku; seorang lelaki muda dengan tas, koper, dan
ransel; serta seorang tukang ojek. Kami duduk terpisah-pisah. Tidak ada
percakapan apapun kecuali sejenak tadi bapak ojek sempat menawariku jasanya. Orang-orang
pun mulai berdatangan meski stasiun tampak masih sepi dan gerbang parkir masih
ditutup.
Lelaki muda
itu, berdiri dan meminta bantuanku sebentar untuk menjaga separuh bawaannya.
Sementara ia akan membawa separuhnya “ke sana”, entah ke mana yang ia maksud.
Aku pun mengiyakan saja. Berikutnya ia kembali seraya mengatakan bahwa ia tadi menuju
ke peron keberangkatan. Aku pun turut beringsut menuju arah yang sama. Di sana aku
dapat tersenyum lebih lega, kembali mendapatkan kursi peron, dan sedikit keramaian.
Sejam kemudian,
sambil melahap sepotong roti keju dan menyeruput sebotol kecil susu strawberry, aku menghubungi Ecci. Ecci
adalah teman sekantorku saat di Jakarta, namun kami belum pernah bertemu. Aku
lebih mengenalnya melalui media sosial belum lama ini. Saat aku memutuskan resign dari Imelda Akmal Architectural
Writer Studio setahun lalu, Ecci masuk hampir sebulan kemudian. Tlisipan, kata orang Jawa.
“Cci, aku udah
hampir mati gaya nih. Dekat Gubeng sini ada tempat yang bisa buat jalan-jalan
pagi nggak?”
Aku baru akan
bertemu Fa sekitar pukul tujuh atau delapan di Jembatan Merah Plaza. Sebelum
itu sudah seharusnya aku berjalan dulu sendirian, demi waktu yang tidak
terbuang percuma. Ecci merekomendasikan Monumen Kapal Selam dan taman kota di
belakang monumen (aku lupa namanya). Sebelum aku berangkat, Ecci juga sempat
mengundangku datang ke acaranya teman-teman Goodreads Surabaya di Perpustakaan
Bank Indonesia dan acaranya Ibu DK Wardhani, dosen arsitektur ITB yang sekarang
menjadi dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya, di Royal
Plaza Surabaya. Namun aku belum bisa menjanjikan datang.
Selamat pagi, Surabaya!
Tepat pukul enam, aku bergerak. Aku keluar dari stasiun dan menghirup udara pagi Surabaya. Keren! Udara kota yang berbeda. Jalanan masih lengang. Aku tak yakin akan melakukannya di kotaku sendiri dan seorang diri. Hotel Sahid menyapaku pertama kali. Lengkung-lengkung di baris teratas bukaan terasa mengembalikan pada sejarah bangsa ini, kolonialisme. Berikutnya tampak bangunan tinggi menjulang, seperti apartemen dengan langgam lebih modern. Sungai lebar dengan semburat kekuningan memantul di permukaannya meski tidak terlalu bersih. Sedih. Pada satu sisi sungai terdapat jalan dengan pagar bercat oranye yang mengarah ke bangunan maha besar nan modern, Convention & Exhibition. Sementara di sisi lain, terdapat sebuah dermaga kecil berwarna merah dengan satu perahu kecil berwarna sama. Am I in Venice?
Tepat pukul enam, aku bergerak. Aku keluar dari stasiun dan menghirup udara pagi Surabaya. Keren! Udara kota yang berbeda. Jalanan masih lengang. Aku tak yakin akan melakukannya di kotaku sendiri dan seorang diri. Hotel Sahid menyapaku pertama kali. Lengkung-lengkung di baris teratas bukaan terasa mengembalikan pada sejarah bangsa ini, kolonialisme. Berikutnya tampak bangunan tinggi menjulang, seperti apartemen dengan langgam lebih modern. Sungai lebar dengan semburat kekuningan memantul di permukaannya meski tidak terlalu bersih. Sedih. Pada satu sisi sungai terdapat jalan dengan pagar bercat oranye yang mengarah ke bangunan maha besar nan modern, Convention & Exhibition. Sementara di sisi lain, terdapat sebuah dermaga kecil berwarna merah dengan satu perahu kecil berwarna sama. Am I in Venice?
Dan yang
kucari akhirnya tampak di depan mata. Monumen Kapal Selam! Sebenarnya monumen
ini baru dibuka pukul delapan, tetapi mengunjungi dan menengok kapal raksasa
dari luar pagar sudah membuatku puas. Kapal itu berwarna hijau hitam
bertuliskan Pasopati di ujung atasnya. Terdapat beberapa tangga yang mungkin
menghubungkan dengan pintu masuk. Selain aku, beberapa orang yang sepertinya
juga berasal dari Surabaya berfoto-foto dengan latar si kapal.
Tak lupa aku
mengirimkan beberapa foto ke grup obrolan sahabat-sepuluh-tahun disertai caption, “Seperti anak hilang ya?”
Yuli menimpali,
“Bukannya sudah biasa?” Kutelan bulat-bulat saja tawa yang hampir pecah.
Aku hanya
sejenak mengitari depan Monumen Kapal Selam karena penasaran dengan “jalan
oranye”. Jalan itu tampak baru, atau memang baru saja dirapikan? Dan bersih,
ramah pejalan kaki. Sesekali aku berpapasan atau dilewati orang-orang yang jogging dan bersepeda. Pandanganku
segera beralih pada tiang-tiang yang digantungi pot-pot berisi tanaman yang
masih kecil. City beautification.
Demi memperoleh suhu udara yang lebih sejuk dan memperbesar area hijau, usaha
itu patut diapresiasi.
Sekitar
setengah perjalanan jika aku akan ke Convention & Exhibition, aku berbalik
arah. Tinggal setengah jam dari waktu yang aku dan Fa sepakati bertemu, dan aku
belum memastikan dengan apa aku akan ke Jembatan Merah Plaza. Aku kembali ke
stasiun, mencari orang yang dapat menunjukkan angkot mana yang harus
kutumpangi. Sebelumnya aku juga sudah bertanya kepada Ecci, dia memberitahuku
untuk naik angkot yang bertuliskan N. Tapi sedari tadi, aku tak satu pun
menjumpai tulisan N pada angkot.
Berbicara mengenai
transportasi, Surabaya ini unik. Aku sempat mencari tahu melalui internet, yang
kutemukan istilah-istilah yang membuat dahi berkerut: diantaranya Lyn dan
Bison. Seperti apa bentuknya, aku tak tahu. Bagaimana sistemnya, apalagi. Aku
pun tak tahu mengapa orang Surabaya tidak menggeneralisasikan saja dengan
sebutan angkot. Saat aku bertanya kepada bapak penjual koran, aku pun harus
menanyakan lebih detail seperti apa bentuk dan rupa si N itu. Hingga akhirnya
aku harus kembali lagi ke arah Hotel Sahid demi menemukan angkot N, sebut
sajalah angkot. Saat aku menemukan tulisan N pada kendaraan publik itu, ternyata
bentuknya juga seperti angkot di kota-kota lain. Lhah...
Sebagai
manusia asing di kota itu, aku memlih tempat duduk di belakang sopir. Ini
adalah trik agar aku lebih leluasa bertanya kepada sopir dimana dan kapan aku
harus turun. Seperempat jam kemudian aku menjadi penumpang terakhir, sampai
bapak sopir bertanya, “Mbak e JMP?”
“Iya, Pak,”
sahutku.
“Mandhap mriki,” aku tercengang.
Bahasanya sama? Dan hanya sekali itu aku mengerti bahasa daerah ketika berada
di Surabaya. Sebelum dan setelahnya, hanya melongo jika diajak bercakap atau
ditanya orang setempat. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar