dengan berjalan, kita akan mengerti bagaimana rupa warna dunia itu
Ada satu
kawasan yang sempat muncul dalam risetku untuk perjalanan ke Surabaya. Kawasan
itu bernama Jalan Gula, serupa jalan dengan dinding-dinding kuno di kiri
kanannya. Tempat yang tenar karena sering digunakan sebagai lokasi pengambilan
foto pre-wedding. Sekilas tekstur rupa tempat itu tak jauh berbeda dengan kawasan Taman Sari di Yogyakarta. Tak ada salahnya
aku mengunjunginya karena lokasinya pun tak jauh dari House of Sampoerna. Meski hanya sekedar melihat bagaimana rupa tempat itu.
Maka begitulah
kami berjalan. Aku dan Fa sempat melihat gerbang megah berhias naga emas, atap melengkung di ujung khas cina, dan dominasi warna merah, bertuliskan
Kya-Kya yang sepertinya pintu menuju kawasan pecinan. Namun gerbang itu harus
diabaikan terlebih dahulu, sudah ada tujuan yang harus dicapai. Kami berjalan
tidak terlalu jauh dari Kya-Kya, hingga di kejauhan nampak sebuah gang dengan
anak-anak muda menenteng kamera dan sebagiannya berpose. Lebih jauh melangkah,
di tengah gang terdapat pasangan yang sedang mengambil foto bersama fotografer
profesional.
Sebenarnya
Jalan Gula ini hanyalah sepotong gang sempit nan pendek dengan dinding-dinding tua yang sangat tebal
strukturnya dan berpintu jendela polos tanpa finishing. Beberapa bagian plesteran dindingnya
sudah terkelupas sehingga menampakkan tatanan batu bata di dalamnya yang sudah keropos sana sini. Dinding
yang masih berplester pun sudah lusuh dan berlumut. Bisa dikatakan pada hal rustic tersebut kawasan ini menjadi daya
tarik.
Saat memasuki Jalan Gula, ada satu bagian dinding bertuliskan "For The Fairest". Entah siapa yang menuliskannya dan mengapa dituliskan kalimat tersebut. Yang pasti torehan tulisan hitam tersebut mampu turut membangkitkan romantika masa lalu ruang itu.
Apabila
berjalan lebih jauh ke dalam, suasana kian sepi. Pintu-pintu yang berrepetisi pada
muka ruko-ruko tua dengan bentuk yang sama pun tertutup rapat. Sepertinya orang-orang di kawasan ini
membutuhkan privasi lebih. Ada hal yang menarik, rolling door pada ruko-ruko itu berbentuk sama dan bertahan dengan bentuk yang sama namun berbeda-beda warna. Warna-warna yang dipilih untuk pintu-pintu itu juga bukan warna mencolok namun cenderung jenis warna pastel teduh.
Tidak banyak memang yang dapat dieksplorasi dari tempat ini. Namun bukankah ruang tidak selalu berbicara mengenai besar kecilnya. Seringkali ruang justru akan bercerita tentang rasa dan pengalamam menjelajah. Bangunan di kiri kanan Jalan Gula ini tinggi menjulang, angkuh dan tidak proporsional dengan lebar jalan yang membelahnya --yang menjadi selebar gang. Tetapi lumut-lumut yang menyelimutinya adalah seni alami yang membawa rasa damai selain aura bangunan tua. Lalu aku melihat cahaya matahari menyisip di sela-sela dedaunan yang tumbuh di atap. Cahaya ketenangan.[]
Assalamualaikum, salam kenal :) Saya dan teman2 waktu kuliah juga pernah ngambil objek di kawasan pecinan Surabaya, sekarang masih keren kah suasananya :D ? Soalnya dulu waktu pertama kali kesana takjub banget, sebagian besar masih asli walaupun sayang banyak yang tak terawat.
BalasHapusWa'alaykumussalam, Flo :) Salam kenal juga. Flo kuliah di jurusan arsitektur kah? Sayangnya kemarin saya nggak sempat secara khusus masuk ke kawasan pecinan-nya. Tapi benar, di Surabaya banyak banget bangunan yang masih asli dan sayangnya tidak terawat, tidak berpenghuni.
HapusIya saya alumni Arsitektur Univ. Brawijaya :) Biasanya saya klo mau tur "kota tua" Surabaya naik bus Damri dari Terminal Bungurasih, harga flat sampai jauh :D
HapusSekarang domisili di mana, Flo? Mei tahun depan, saya ada rencana ke Surabaya. Siapa tahu bisa jumpa. :)
Hapus