Menjelajah bagi saya adalah menemukan; sebagaimana mengunjungi, bagi saya adalah mengetahui.-Naya Moeda
Sudah sepekan
lebih sejak aku bertandang ke Kota Pahlawan, Surabaya. Beberapa kawan pun telah
menanyakan mengenai catatan perjalanan. Baiklah, di sini aku akan lekas
memulainya.
Sejak
jauh-jauh hari aku telah menyisir tanggal merah di hari Sabtu atau Senin.
Mungkin sejak dua hingga tiga bulan sebelum Oktober. Ya, bagi karyawan
enam-hari-kerja seperti aku, tanggal merah di Sabtu atau Senin laksana mutiara.
Sangat
membingungkan memilih tempat bertualang untuk hari-hari itu. Aku harus pergi ke
luar kota, kemana pun itu. Sempat ada beberapa opsi seperti Bromo, Batu, Green Canyon, hingga Desa Bambu Village.
Namun untuk kemungkinan solo trip –teman
yang kuajak belum bisa memastikan keikutsertaannya, objek-objek tersebut
terlampau jauh aksesnya juga kurang menguntungkan dari segi budgeting. Maka
kuputuskan aku akan menjelajah kota saja.
Beberapa
alternatif kota, diantaranya Jakarta, Bandung, dan Surabaya, mulai kutengok untuk
membuat itinerary. Jika ke Jakarta,
aku ingin mengunjungi eks-kos semasa di Bintaro Pesanggrahan sekaligus
bertandang sejenak ke Bogor, menengok Kampus Tazkia dan kehidupan semasa di
Cadasngampar. Bandung dan Surabaya, entah tidak ada bayangan lebih jauh, tidak
ada tempat yang otomatis melintas di pikiran.
Sebagai
permulaan, bergerilyalah aku di situs ticketing
kereta api. Dan aku mendapat jawaban atas pertanyaan, “Mengapa Surabaya?” Aku
akan ke Surabaya karena tiket ke sana yang paling minimal. Dan pertanyaan itu memang dilontarkan beberapa teman
yang kupamiti, aku pun menjawabnya seperti itu. Hari-hari berikutnya aku rutin
mengecek situs tiket itu. Untuk pulangnya, karena tiket kereta api paling siang
pukul 13.30 dan tidak ada kereta ekonomi malam, aku memutuskan memilih moda
transportasi bis. Terlalu sayang, melewatkan waktu siang hingga malam hari.
Perjalanan
yang akan kulalui kurancang tidak biasa, aku tidak berani mengajak lebih banyak
teman. Alasannya, aku ingin pergi dengan menekan budget seminim mungkin –ala backpacker,
kataku saat itu. Pergi dengan kereta ekonomi, sebisa mungkin di sana hanya akan
berjalan dan berjalan, meminimalkan angkot, ojek, apalagi taksi. Belum ada
bayangan akan menginap dimana. Kelak, aku menemukan makna di balik
langkah-langkahku, yang tak terpikirkan sebelumnya. Di perjalanannya nanti akan
kuceritakan.
Tidak
terbersit sekalipun dalam pikiran bahwa aku akan mengunjungi Surabaya untuk
pertama kalinya. Sungguh, tidak ada bayangan mengenai kota itu. Perjalanan ke
timurku baru sampai di Batu, Malang, dan sekedar lewat saja menuju Bali.
Pamanku pernah tinggal di Sidoarjo, cukup dekat dengan Surabaya sebenarnya.
Sayang, beberapa bulan yang lalu harus pindah tugas lagi, kembali ke ibukota.
Padahal aku belum pernah mengunjungi rumah paman itu, yang sebenarnya akulah
arsiteknya. Baiklah, tidak ada saudara yang bisa kukunjungi di sana.
Aku bergegas
mengingat-ingat teman-teman yang berada di Surabaya dan sekitarnya. Menghubungi
satu demi satu seraya merekues tempat-tempat yang patut kukunjungi. Hampir
semuanya merekomendasikan ke House of Sampoerna, museum milik perusahaan rokok
Sampoerna, dan ikut tur Surabaya Heritage Track. Selain itu Taman Bungkul, Tugu
Pahlawan, juga Masjid Ceng-ho. Meski aku pun telah memiliki daftar tempat yang
kiranya harus dikunjungi berikut rute alurnya setelah melakukan riset
kecil-kecilan di Google Maps: Monumen Kapal Selam, yang lokasinya begitu dekat
dengan Stasiun Gubeng; kawasan Kalisosok dimana terdapat bangunan penjara tua;
serta Jalan Gula yang sepertinya begitu populer menjadi lokasi prewedding photo.
Mengingat aku
akan di Surabaya selama dua hari, seharusnya aku pun membuat rencana perjalanan
untuk dua hari. Namun untuk hari kedua, aku sudah tidak ada ide lagi hingga
detik-detik akan berangkat. Just call my bestfriend,
then. Aku pun bercakap via layanan obrolan, lalu menyimpulkan akan menginap
di Pandaan, Pasuruan, dimana Fa, sahabat-sepuluh-tahunku bekerja dan tinggal.
Mau kemana di hari kedua kuserahkan kepadanya.
Fa juga mengusulkan untuk kemungkinan menyewa
motor agar mobilitas lebih efektif. Tapi aku tidak yakin, seperti ada beban
karena ada “tentengan” lain, bagaimana dengan angkot tanyaku. Apakah di sana
angkot mudah dijumpai? Perbincangan mengenai transportasi ini tidak lantas usai
begitu saja. Pertimbangan atas beberapa hal itu berlangsung dua hari, hingga
akhirnya kami memutuskan untuk berjalan saja atau naik angkot.
Persoalan
berikutnya muncul saat Fa tiba-tiba mengirimkan pesan singkat, katanya untuk
mengikuti tur Surabaya Heritage Track sebaiknya pesan seats bis sebelum kehabisan. Aku pun sepakat untuk segera menelepon
House of Sampoerna. Beberapa aku menelepon, tidak ada jawaban. Slow... Usai makan siang, aku menelepon
kembali, dan voila! Seseorang
mengangkat telepon. Tidak sesuai rencana, booking seats via telepon sudah
penuh. Satu-satunya saran dari resepsionis House of Sampoerna, datang sepagi
mungkin dan booking di tempat.
Aku pun segera
mengonfirmasi kepada Fa, berikut mengatakan, “Kalau kita tidak bisa ikut tur
House of Sampoerna. Kita jalan saja ke Jalan Gula, aku penasaran.”[]
What next?
BalasHapusjust wait..will published soon.
Hapus