suatu pertemuan itu bukanlah suatu kebetulan,
pertemuan adalah takdir Tuhan untuk manusia
Hari menjelang
sore saat aku dan Fa memutuskan untuk beranjak ke Taman Bungkul. Taman ini
akhir-akhir ini mulai tenar setelah walikota Surabaya merevitalisasinya. Terletak
tepat di sisi Jalan Taman Bungkul, kawasan tertata ini difasilitasi dengan pathway yang nyaman, juga amphitheatre. Tanaman yang tumbuh pun
sangat terjaga, serta bersih dengan beberapa petugas keamanan yang bersiaga.
Saat aku
sampai di Taman Bungkul, suasana memang sudah terbilang ramai. Harap maklum, aku
datang pada momen Saturday night yang
bersekutu dengan hari libur nasional. Pada hari itu juga tengah dihelat
Festival Lagu Islam –aku lupa nama acaranya, banyak ibu-ibu dan anak-anak berqasidah
dengan rebana di tangan. Bahkan saat aku dan Fa makan pecel semanggi –makanan
yang direkomendasikan Mbak Lia dan Mas Dika, teman sekantor Fa, ibu-ibu dengan
gamis oranye heboh berlatih. Dengan agak rikuh, kami menikmati pertunjukan
“spesial” grup nomor 21 itu.
Sejak aku
berjumpa dengan Fa di Jembatan Merah, berbekal rasa penasaran, Fa memang sudah
meniatkan diri mencari pecel semanggi. Di Taman Bungkul lah akhirnya kami
bertemu penjaja pecel semanggi. Pecel semanggi ini disajikan dalam pincuk daun
pisang, sejumput rebusan daun semanggi disiram saus kacang dimakan bersama
kerupuk puli. Kerupuk puli ini di Jogja sering disebut dengan legender namun ukurannya agak lebih
besar.
Setelah itu
kami mengitari lagi kawasan Taman Bungkul. Aku melihat penjual lumpia,
sementara Fa berniat membeli kerupuk puli lagi sebagai cemilan. Memang
dimana-mana terlihat orang menyantap kerupuk puli ini yang dicocol sambal
petis. Lumpia Surabaya ternyata berbeda dengan lumpia di Jogja atau pun
Semarang. Lumpia Surabaya dimakan dengan daun bawang tanpa dipotong terlebih
dahulu. Batang-batang daun bawang ditaruh begitu saja di atas lumpia untuk
digigit sedikit demi sedikit. Aku berdecak dalam hati, so unique!
Sore itu, Ecci
mengabarkan kalau dia sedang menghadiri acara besutan Goodreads Surabaya di
perpustakaan yang tak jauh dari Taman Bungkul. Aku berencana akan bertemu
beberapa teman yang tinggal di Surabaya. Ecci adalah teman kantorku semasa di
IAAW Jakarta, dia masuk magang setengah bulan setelah aku resign. Namun begitu sudah beberapa bulan kami kenal di dunia maya.
Sore itu akan menjadi pertemuan pertama kami.
Dan memang tak
lama kemudian Ecci datang bersama Atiek, sahabat sepuluh tahunnya. Kami pun
bernostalgia mengenang masa-masa di Jakarta, tentunya dalam generasi yang
berbeda. Suka duka di sana, mengapa resign,
mengapa tidak lagi kembali ke sana, bagaimana aktivitas sekarang, dan
sebagainya. Kami duduk di amphitheatre
hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu Ecci mengajak aku dan Fa shalat di
perpustakaan yang lantas kami iyakan.
Aku dan Fa
berpisah dengan Ecci dan Atiek usai shalat maghrib. Kami kembali ke Taman
Bungkul untuk bertemu dengan teman Surabaya lainnya. Sembari menunggu, aku dan
Fa sedikit memutari Taman Bungkul lagi. Fa memperlihatkan kepadaku beberapa signage di titik-titik tertentu kawasan
itu. Signage yang bukan lagi verbal
namun mewujud visual berpendar. Contohnya, untuk memperingatkan, “Dilarang
membawa senjata tajam,” ditransformasikan menjadi gambar senjata tajam yang
diberi tanda silang.
Selepas itu,
kami terduduk saja di tepian jalan raya. Fa membuka “buku cinta” gank kami, buku yang ditulisi oleh
masing-masing secara bergiliran. Karena Fa terpisah kota dengan anggota gank lainnya, saat itu adalah kali
pertama dia menulisinya. Dan aku? Aku mengamati lalu lalang kendaraan sambil
sesekali mereguk air mineral. Udara Surabaya cukup panas, itulah sebabnya aku
banyak menghabiskan air minum. Aku yang jarang mengonsumsi es, setibanya di
Surabaya pun tidak segan lagi menenggaknya.
“Lagi nungguin
siapa, mbak?” tiba-tiba suara seseorang muncul diantara telinga aku dan Fa.
“Mbak Lia!”
Sebuah kejutan, karena sore tadi ia mengatakan tidak bisa bersua dengan kami.
Dan tahu-tahu hadir begitu saja. Wow! Sementara itu, Mas Dika yang terlebih
dulu mengkonfirmasi sedang dalam perjalanan masih belum nampak. Beberapa saat
kemudian lah, ia baru muncul di tengah suasana Bungkul yang kian ramai. Tak
lama kemudian, kami berempat meluncur ke Taman Pelangi.
Taman Pelangi
lebih sepi daripada Taman Bungkul. Pengelolaannya pun belum optimal meski pathway sudah terbentuk. In-out kawasannya masih kabur dengan
vegetasi yang nampak “berkeliaran”. Meski begitu taman ini lebih iconic dibandingkan Taman Bungkul.
Terdapat point of interest berupa
pilar-pilar yang mekar seperti kipas di atas kolam. Pilar-pilar tersebut
disorot dengan lampu warna-warni (seharusnya, beberapa lampu padam). Belum
nampak pula tempat duduk sehingga kami memutuskan duduk di bibir kolam dan
sesekali mengamati pasangan-pasangan manusia.
Hampir tengah
malam saat kami beranjak ke Terminal Purabaya, lebih dikenal dengan Terminal
Bungurasih. Di pintu masuk kawasan bis antar kota, aku dan Fa berpisah dengan
Mbak Lia dan Mas Dika. Aku membuntuti Fa menuju jalur Surabaya-Malang, pukul
setengah dua belas malam saat itu. Lima belas menit kemudian, kami sudah
terkantuk-kantuk menunggu kedatangan bis. Beberapa calon penumpang sudah
khawatir tidak ada bis lantas mencari opsi lain. Kami masih bertahan. Sementara
Fa menutup mata, aku bertahan terjaga. Hingga lepas tengah malam dan Fa
terbangun, bis yang dimaksud belum juga nampak.
Aku memeluk
ransel dan terlelap sampai akhirnya Fa mengguncang tubuhku, berlari. “Kita naik
Patas saja!” Maka pukul setengah satu kami mulai turut berdesakan di dalam bis
jurusan Malang, menuju pemberhentian kami selanjutnya: Taman Dayu![]
kalau tidak salah, taman pelangi awalnya memang bukan untuk jalan-jalan, tapi sebagai landmark "selamat datang". karena itu letaknya lumayan dekat dengan perbatasan.
BalasHapustapi barangkali karena unik, banyak dipakai orang untuk jalan-jalan, jadinya mulai ditambahkan fasilitas2 pendukung.
Halo Ronny,
HapusMakasih sudah berkunjung. Jadi begitu ya awal mulanya, referensi baru nih. Tapi nggak ada salahnya juga ya landmark "selamat datang" dijadikan ruang publik setara Taman Bungkul. :)