Ketika
meniatkan diri menginjakkan kaki di kota lain, teramat sayang jika melewatkan
waktu berlalu begitu saja. Begitu juga saat aku sampai di Jembatan Merah dan Fa
masih di dalam perjalanan. Aku memutuskan untuk mengitari taman di depan
Jembatan Merah Plaza. Taman Jayengrono namanya. Taman itu cukup sejuk di tengah
udara sepenggalah matahari Surabaya yang mulai memanas. Pada beberapa titik
terdapat air mancur yang memuntahkan air yang sebentar-sebentar memercik.
“Where is the red bridge?” Pertanyaan itu
sebenarnya masih menggaung semenjak aku diturunkan dari angkot tadi. Tidak lain
karena sedari tadi aku sama sekali tidak melihat jembatan berwarna merah.
Setelah aku menembus bagian depan Jayengrono, barulah terlihat sebuah jembatan
dengan cat merah. Konon, di jembatan inilah Brigjen Mallaby tewas. Pertempuran
berdarah inilah asal usul penamaan Jembatan Merah. Dalam versi yang lain,
jembatan ini bernama seperti itu karena memang sudah dicat warna merah sejak
pertama kali dibuat.
Setelah puas
menengok Jembatan Merah, aku pun kembali ke Jayengrono. Tidak lama kemudian, Fa
datang dari ujung kanan taman. Surprise!
Akhirnya kami bertemu. Aku membayangkan semoga suatu saat, kami akan datang
dari Inggris dan Jerman, lalu memutuskan bertemu di Perancis. Aamiin.
Segera kami
melanjutkan berjalan, mengejar tur pertama Surabaya Heritage Track yang
diinisiasi House of Sampoerna. Dalam langkah-langkah kami menuju House of
Sampoerna, kami melewati bangunan tua yang kompleksnya terkesan luas dengan
menara-menara pandang di ujung-ujungnya seperti tipikal penjara pada umumnya.
Itulah Penjara Kalisosok. Kalisosok sempat masuk bucket list-ku, tak sengaja sempat juga melintasinya, merasakan
ruang-ruang masa lalunya meski hanya dari jalan-jalan di sekitarnya.
Sesampai di House
of Sampoerna masih belum banyak orang berlalu-lalang. Syukurlah, baru ada tiga
nama dalam daftar peserta tur pagi dengan tiga tempat perhentian, Balai Pemuda,
Balaikota Surabaya, dan De Javasche Bank.
Namun dikarenakan hari itu adalah hari tahun baru Islam, Balaikota Surabaya
tidak dapat dikunjungi.
Ternyata
Surabaya cukup banyak memiliki sociteit,
beberapa kali pemandu tur menjelaskan bahwa gedung ini dan itu dulunya adalah sociteit. Sociteit adalah tempat untuk berpesta sembari berdansa para noni dan meneer di jaman pendudukan Belanda. Diantaranya De Simpangsche Sociteit yang kini
menjadi Balai Pemuda dan Gedung Internatio yang berwarna merah putih. Surabaya
memang kaya bangunan kolonial, berulang kali mendengar pemandu menyebut
beberapa tempat dengan penamaannya di masa lalu yang serasa membawaku ke
kehidupan pada masa itu.
Selain program
tur, terdapat juga Museum House of Sampoerna. Di dalamnya terdapat berbagai
macam benda kuno, baik yang berhubungan dengan produksi rokok maupun tidak. Melalui
lantai atas, kami dapat melihat ruang proses bagaimana rokok diproduksi.
Sayangnya, saat itu hari libur sehingga para pegawai tidak bekerja.
Hari menjelang
siang saat kami memutuskan untuk meninggalkan House of Sampoerna. Mau ke mana
kita? Makan! Hingga akhirnya dalam perjalanan kembali ke Jembatan Merah kami
menemukan Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria di daerah Kepanjen,
dekat Kantor Pos Besar Surabaya. Gereja dengan arsitektur neo-gothic ini
mengingatkanku pada Gereja Katedral Jakarta yang terletak di seberang Masjid
Istiqlal.
Di depan
gereja itulah kami melahap lontong balap, makanan khas Surabaya yang kucicipi
pertama kali, yang kalau dipikir-pikir mirip juga dengan ketoprak langganan di
belakang kampus dulu. Ups, tetap tandas dan licin piringnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar