Gelaran festival ini sudah cukup lama saya
dengar, semakin menggemuruh saat Mbak Sekar (@pembayunsekar) kakak tingkat beda
jurusan di kampus menceritakannya melalui kartupos. Saat itu, menjelang
keberangkatannya studi ke Swedia, ia sempat tinggal di Bali untuk beberapa
bulan. Terasa girangnya ia saat berhasil menghadiri Ubud Writers & Readers
Festival. Tahun ini giliran saya yang menetap di Bali. Ubud bukanlah jarak yang
dekat dari Buleleng tepi utara. Namun niat yang kuat mengalahkan masa
penyembuhan selepas sakit sekalipun. Saya ‘nekat’ mengendarai motor seorang
diri, menembus dinginnya Kintamani demi mencicipi UWRF tahun 2015 ini.
Bersama Dyan (@graharidyan) –teman yang
tinggal di Ubud, hari itu (01/11) kami memulai dengan menonton film Guru
Bangsa: Tjokroaminoto di Betelnut Café, Ubud. Bagi saya, sebenarnya tidak ada
klimaks yang menggigit dari film besutan Garin Nugroho tersebut. Meskipun
seperti itu, menontonnya pun tidak juga membuat kami lekas bosan. Saya
mengamini komentar Dyan, film Tjokroaminoto membuka wawasan kami mengenai
sejarah bangsa ini, bangsa Indonesia. Mengenal kembali tokoh-tokoh negara
Indonesia, seperti Tjokroaminoto, Haji Samanhudi, Agoes Salim, hingga Semaoen.
Film Tjokroaminoto juga sarat pesan. Di
antaranya tentang konsep hijrah (pilgrimage)
dan iqra’. Hijrah yaitu berpindah
dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik, sementara iqra’ bermakna membaca. Esensi dari
keduanya adalah ketika seseorang mencapai setinggi-tingginya ilmu,
sepintar-pintarnya siasat, dan semurni-murninya tauhid (mengesakan Allah). Dibintangi
Reza Rahardian sebagai Tjokroaminoto dan dengan durasi kurang lebih 2.5 jam,
Tjokroaminoto menjadi salah satu tontonan yang berkualitas dan layak disimak.
Majestic
field of green.
Salah satu frasa yang menarik perhatian
saya pada salah satu scene film Tjokroaminoto.
Indonesia merupakan tempat hijau yang agung (Jw: ijo royo-royo). Fakta ini pula
yang mungkin menginspirasi Koes Plus saat menciptakan lagu Kolam Susu, tongkat
kayu dan batu jadi tanaman. Negeri yang kaya sumber daya namun belum
terberdayakan dengan baik.
Seusai makan malam, saya dan Dyan beranjak
menuju halaman Museum Antonio Blanco, tempat di mana pesta penutupan UWRF 2015
digelar. Beberapa musisi tampil silih berganti namun saya belum juga menemukan
sesuatu yang menarik hingga presenter memberitahukan bahwa sebentar lagi yang
akan tampil adalah Mata Jiwa. Duo musisi bergenre folk-pop dari Bandung ini tidak terlalu asing meski saya tidak
akrab dengan lagu-lagunya. Rasanya saya pernah mendengarnya tampil saat
menghadiri Pasar Seni ITB November 2014 lalu.
Digawangi Anda Perdana dan Ahmad Reza, Mata
Jiwa menjadi penampil pamungkas yang menarik antusias penonton. Bagi yang
pernah menonton Ada Apa dengan Cinta, Anda tentu bukan personil yang asing. Ia
pernah turut menyanyikan lagu Tentang Seseorang sebagai soundtrack film AAdC tersebut.
Semesta. Lagu ini yang paling berkesan bagi
saya. Liriknya dekat dengan alam dan sesama, membumi dan mengakar.
Berkelana rasuki dunia Berkelana menjalani dunia Di antara riuhnya semesta Di antara simpang siur semesta Selalu ingin mencari jawaban Selalu ingin mendapatkan jawaban Mencari arti semesta Berkelana dalam dunia Menyendiri dalam keramaian
Maka dua kebahagiaan di UWRF 2015 ini
seperti nostalgia saya menonton film di IFI Jogja dan pertunjukan-pertunjukan
seni lainnya di Taman Budaya Yogyakarta. Yeay! Terima kasih semesta.