Jumat, 29 Januari 2010

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 2: Selasar Sunaryo]

Siang itu kami melaju menuju Selasar Sunaryo Art Space yang terletak di Bukit Pakar Timur no 100, Bandung. Tahun 1993, Selasar Sunaryo mulai dibangun bersama arsitek Baskoro Tedjo, arsitek yang juga alumni jurusan Arsitektur ITB.
Selasar Sunaryo yang merupakan ruang publik seni (pertunjukan, tari, teater, musik, pemutaran film, fotografi, arsitektur, dan pembacaan puisi) diresmikan pada Mei 1998 dengan pameran tunggalnya, Titik Nadir. Pada saat itu Pak Sunaryo galau karena Jakarta dan Solo sedang dilanda kerusuhan. Atas keprihatinan terhadap kondisi bangsa saat itu, maka karya-karya Pak Sunaryo diselubunginya dengan kain hitam. Dalam kompas.com pun Pak Sunaryo menyatakan bahwa ia membuka museum tapi dengan semangat antimuseum. Bukan hanya karya seni rupa yang dibungkus kain hitam melainkan juga pohon kemang dan sebagian tembok ia selubungi dengan kain hitam dengan ikat tali putih.
”Suara krek.. krek.. krek saat saya membungkus dan mengikat itu rasanya ada katarsis. Betapa egoisnya saya saat itu jika pamer karya, sementara di depan kita nyawa manusia begitu mudah dilenyapkan,” katanya.
Akhirnya baru pada tahun 2000, seluruh selubung terbuka. Mempunyai museum seni merupakan cita-cita Sunaryo ketika masuk di jurusan Seni Rupa ITB tahun 1962. Pak Sunaryo kala itu memimpikan adanya ruang publik di mana terjadi interaksi antarseniman dan khalayak.
Mengapa selasar? Sunaryo terpanggil untuk memungut benih-benih yang masih muda, segar, dan menjanjikan. Selasar menjadi jembatan yang menghubungkan jejaring yang selama ini tak terhubungkan dengan khalayak luas. Selasar menjadi energi, yang merevitalisasi kebudayaan.
Selasar Sunaryo terdiri dari ruangan indoor dan outdoor. Ruang/Gallery A menampung koleksi terpilih Pak Sunaryo. Lalu Stone Garden tempat memajang karya seni dari batu, karya Pak Sunaryo. Ada juga Ruang/Gallery B dan Wing Gallery yang memamerkan hasil karya young artist dari Indonesia dan luar negeri. Selain itu juga ada Perpustakaan Seni, Bale Handap dan Bale Tonggoh yang mendukung art performance, exhibition, seminar, atau workshop. Ada juga amphytheatre yang didesain dengan perhitungan-perhitungan khusus sehingga jika berdiri pada titik pusatnya akan terasa ada yang berbeda, yang mana itu sangat bermanfaat pada saat pementasan. Bisa juga duduk santai sambil menikmati udara dingin Dago Pakar di Kopi Selasar lalu mampir ke Cinderamata Selasar (Selasar Shop). Terdapat juga Rumah Bambu sebagai tempat persinggahan seniman yang akan merencanakan tata pamerannya bersama kurator.
Selasar Sunaryo sangat menunjukkan kearifan lokalnya. Respon terhadap alam yang sangat bagus. Hampir semua ruangan menyisipkan elemen-elemen kaca sebagai upaya memaksimalkan pencahayaan. Massa bangunan yang mengadopsi unsur-unsur Sunda. Material-material alam dimaksimalkan dengan maksud memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah Selasar Sunaryo. Konon Selasar Sunaryo memiliki sembilan sumur resapan untuk mengendalikan air yang masuk ke tanah Selasar. Landscape-nya juga terlihat dinamis. Tak ada perkerasan beton maupun aspal kecuali pada area parkirnya. Di sisi lain ternyata Selasar Sunaryo juga bertujuan sebagai konservasi tanaman yang sudah mulai langka seperti bambu kuning dan bambu hitam.
Ada yang menarik perhatian saya pada dua spot, di perpustakaan dan selasar kopi. Kata-kata yang ditulis Pak Sunaryo pada saat peringatan sepuluh tahun Selasar Sunaryo.
Saya hanyalah seekor burung dengan sayap patah. Tak mungkin kami sanggup berkepak selama sepuluh tahun terakhir jika tiada dukungan rekan-rekan selasar, para penggiat seni serta sahabat sahabatku.
Kepada merekalah saya sampaikan rasa terima kasih yang tak bertepi....

Terlihat jelas kerendahan hati Pak Sunaryo dan kepeduliannya terhadap negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar