Jumat, 29 Januari 2010

Belajar di Bonbin Gembira Loka

Saya teringat pembicaraan tadi sore bersama teman-teman. Belajar untuk hidup atau hidup untuk belajar? Ya, tidak seharusnya kita memilih salah satunya atau bahkan tidak memilih karena keduanya sama-sama penting.
Selama kita hidup sudah seharusnya kita mempelajari apa-apa yang bisa dipelajari, termasuk tentang hidup itu sendiri. Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, kepada siapa saja.

***

Lusa, saya bersama seorang teman iseng mengunjungi Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta. Saat itu sedang ‘long weekend’ sehingga tidak heran jika tempat itu menjadi sangat ramai. Namun saya sedang tidak akan membicarakan tentang apa-apa yang terdapat di dalamnya, hanya ingin berbagi ‘sejam bersama perajin’ saja.
Ketika hari menjelang petang, saya dan teman saya tepat keluar dari area kebun binatang yang langsung terhubung dengan kios-kios para penjual souvenir dan cinderamata. Kami memasuki kios nomor satu yang terletak di paling pojok. Tak lama kami masuk, seketika disambut oleh Pak Supriyadi Pamiyanto yang ternyata sang pemilik kios. Heran rasanya karena bukan “Yang ini bagus mbak,” atau “Ini mbak bagus cuma sekian ribu,” yang keluar dari bibir beliau. Namun, “Kuliah dimana mbak?”, “Jurusan apa mbak?”.
Beruntung bagi kami karena teman saya dan istri si bapak sama-sama beralmamaterkan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Meskipun berbeda jurusan mereka tetap satu fakultas. Sedangkan saya dan Pak Supri sama-sama berlatarbelakang pendidikan teknik, Pak Supri alumni Teknik Sipil, sedangkan saya Arsitektur. Sama-sama nyambung lah!
Sesaat kemudian saya menanyakan harga sebuah cinderamata, jawab Pak Supri, “Itu tiga ribuan, kalau yang di sana itu seribuan.”
Saya layangkan pandang ke arah yang ditunjukkan Pak Supri. Berjajar souvenir berupa gantungan kunci yang cukup ‘wah’ terpajang rapi. Seakan tidak percaya saya kembali bertanya, “Semuanya Pak?”
Dan Pak Supri kembali meyakinkan, “Iya semuanya.”

***

Detik-detik selanjutnya berisi cerita-cerita Pak Supri tentang perjalanan hidupnya. Beliau yang lulusan teknik kemudian bergelut di usaha seperti itu. Cita-cita, modal, dan pemasaran, tiga kata yang ditekankannya saat memulai memaparkan pengalamannya. Hanya dengan kekuatan ketiganya kamu bisa.
Ribuan item produk terpajang dengan strategi bisnis yang tepat, trik yang hebat dan berbeda dengan kebanyakan orang berprofesi sama. Tak heran pula jika kemudian beliau mengangkat para pemuda untuk diasuhnya dan bekerja di kios tersebut. Meski tidak dibayar, para pemuda tersebut terlihat sangat akrab dengan keluarga Pak Supri. Hal itu dikarenakan mereka sehari-hari tinggal, makan, dan tidur di rumah Pak Supri.
Jatuh bangun dalam memulai usaha pun pernah dialaminya. Saat usaha beliau direbut adiknya, hingga kemudian memulai hidup lagi di Yogyakarta dengan menjual cincin dan kalung pernikahan istrinya untuk mengontrak rumah. Mengasong di seputaran Candi Prambanan dan Gembira Loka untuk melihat peluang pasar. Betapa semuanya dimulai benar-benar dari bawah. Betapa untuk menuju ke depan harus berani mengambil resiko di belakang.
Sesuatu yang juga menarik untuk saya adalah ketika Pak Supri mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, tahu susahnya mencari uang. Namun bukan berarti anak-anak Pak Supri lalu mengikuti jejak beliau di usianya yang masih kecil. Pak Supri hanya mengajarkan menabung, lalu uang hasil tabungan itulah yang digunakan untuk memenuhi sebagian keinginan materi anak-anaknya.
Takjub ketika kemudian mendengar bahwa anaknya yang baru kelas empat SD (kalau tidak salah-red) menjuarai panjat tebing tingkat Asia dan kini telah memiliki tabungan sebesar 150 juta. Itu benar-benar bukan hasil yang instan tentu saja tetapi telah melalui jalan yang berliku-liku.
Yeah, sebuah pengalaman yang sangat berharga di hari itu yang telah direncanakanNya.

Solo, 21 Desember 2009
di sela timpukan-timpukan kecil...:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar