Jumat, 29 Januari 2010

Mimpi Seribu Cemara (berbagi dengan alam)


Berbagi waktu dengan alam…
Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya...
Hakikat manusia...


Siang itu, kami berempat Sa, Ni, In, Fi dengan dua motor meyusuri kelokan jalan dari Solo lewat Matesih, Tawangmangu, dan ke atas lagi. Sa berboncengan dengan Ni, In berboncengan dengan Fi.
Perjalanan yang menyenangkan ketika sudah lepas dari tempat yang bernama KOTA. Perjalanan yang menakjubkan ketika di kanan kiri hanya ada sawah, selokan, dengan background pegunungan dengan saputan awan, serta backsound suara alam.
Kemudian sekitar pukul satu-an perjalanan terhenti sejenak di mushola depan kecamatan Tawangmangu. Menunaikan ibadah di mushola yang jika berada di halamannya akan terlihat pemandangan yang sangat indah. Apalagi mushola tersebut ada balkonnya dan tidak terhalang apapun. Siang yang menyejukkan...
Ujian pertama: Saat akan kembali berangkat, siFit mogok. Panik? Cemas? Sempat terlintas. Namun kemudian kebetulan ada dua orang bapak yang kebetulan sedang berada di mushola itu. Alhamdulilllah bisa hidup...
Ujian kedua: Baru saja beranjak keluar dari pintu gerbang mushola...yaaah mati lagi. Menoleh ke arah bapak yang kemudian datang dan mengganti nyawa siFit. Hidup sih hidup...tapi kemudian si bapak-bapak langsung ngaciiiir! Kami hanya bisa sedikit tertawa dengan persepsi: apakah bapaknya tidak mau lagi berurusan dengan siFit? Ups, tidak, tidak, terima kasih Pak.
Yuhuuy, perjalanan berlanjut. Woooi, Sa, Ni jangan tinggalkan kami. Lalu tampaklah mereka di ujung sana.
Ujian ketiga: Ketika Sa-Ni melihat siFit dengan dua orang di punggungnya, mereka langsung menjalankan tunggangannya. Namun tiba-tiba siFit memelan. Kutanyakan pada In yang di depan, kenapa mau berhenti? Jawabnya, “Ini bukan berhenti tapi mati lagi.”
Dueeeeng! Sudahlah, mumpung hanya lima meter dari tempat berdiri ada bengkel, bawa saja siFit ke sana. Alhasil sekarang siFit punya nyawa baru. Nyawa ala Tawangmangu. =D Itu berarti sumbangan nyawa siFit tidak mengantarkan kami ke atas, tetapi mengantarkan kami ke rumah sakit spesialis siFit alias bengkel. =D

Dengan kondisi yang sudah sehat, perjalanan berlanjut kembali. Beruntung, jalan sudah diperbarui, menjadi lebih lebar dan tidak terlalu curam. Jalan yang membelah gunung. Udara semakin dingin. Begitu dingin. Ibu-ibu berkemul berderet di sepanjang jalan, menawarkan strawberry. Ya, hingga berkemul karena udara memang begitu dingin di atas.
Sempat terucap kata kepada In, “Seharusnya tadi kita bawa selimut.” Tawa kembali pecah.

Terlihat tulisan “Cemoro Kandang”. Yeah, kami hampir sampai. Hanya sedikit berbelok maka sampailah kami di tempat yang kami tuju.
Here we’re... Cemoro Sewu. 3265dpl (kalau tidak salah) dengan suhu 21,7 derajat Celcius. Mari kita lihat telapak tangan kami. Sa...putih, Ni...putih..., In....putih, Fi? Apa yang terjadi dengan tangan Fi? Paling merah diantara mereka, euy! =D Bangga nih!
“Berarti daya tahan tubuhku kuat ya?” ujarku.
“Yeeeee...pe de!” serempaklah mereka.
Papan nama pos pendakian Lawu. Itu yang kulihat. Cemoro Sewu memang bukanlah tempat wisata untuk umum. Cemoro Sewu adalah pos paling awal pendakian Lawu. Dan itulah yang membuat kami tertarik. Tempat-tempat yang jarang dijamah orang, biasanya justru lebih indah. Coba lihat tempat-tempat wisata yang cenderung kumuh dan banyak pedagang berseliweran. Kata Sa, “Ketika tidak banyak orang yang menjamah, kita serasa memiliki tempat itu.”
Setuju. Dan terlebih lagi, pada tempat-tempat seperti itu rasa syukur kepada Yang Kuasa seperti mencapai titik puncak. Namun memang tak semua orang mau dan mampu. Pada tempat seperti itu, rasa kekeluargaan juga lebih kental. Untuk yang satu ini, aku salut dengan teman-teman PA. Berulang kali mengunjungi tempat-tempat seperti itu, kekeluargaan dengan penduduk sekitar memang sangat hangat. Membumi.

Mari kita lanjutkan.
Sesaat setelah cukup beradaptasi dengan suhu dan suasana Cemoro Sewu, kami memasuki kawasan hutan cemara di dalamnya. Tak jauh dari pintu gerbangnya, kucium aroma kemenyan. Mengingatkanku pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng Lawu sebelah barat. Jalan setapak dengan perkerasan batu kali ini sangat menanjak. Semakin ke atas semakin curam dan sedikit berlumut.
Kreeek...
Terdengar sesuatu. Pohon cemara yang tumbang karena angin di sisi yang lain. Menapaki jalan ini, lalu berjumpa dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang juga akan ke atas. Mereka adalah para pedagang di pos pendakian 1. Sempat beberapa kali berbincang dan bercanda bersama mereka. *)ini salah satu contoh yang aku maksud dengan suasana kekeluargaan di paragraf atas.
Tak lama kemudian berpapasan dengan seorang bapak yang sudah cukup renta. Dengan kayu bakar di punggungnya beliau menawarkan sisa dagangan makanannya dari atas. Delicious! =)

Jarum jam menunjukkan pukul tiga. Kami harus turun meski pos pertama belum tercapai karena dijadwalkan akan mampir ke Grojogan Sewu.
Sebelum perjalanan dilanjutkan, kami menuju masjid di depan gerbang Cemoro Sewu. Begitu menyentuh lantai keramik di terasnya. Komentarnya: wow...dingin beneeeer!
Sempat juga duduk di atas teritisan teras masjid. Bagaimana bisa? Bisalah, masjidnya kan lebih rendah dari jalan.

Pukul setengah empat kembali turun menuju Grojogan Sewu.

Setelah memarkir motor (sebenarnya bukan memarkir karena tukang parkirnya tidak ada dan tempat sudah sangat sepi) kami berjalan menuju area grojogan. Di tengah jalan, ada tiga ekor kera di tengah jalan. Bagaimana ini? In berkata, “Eh, kita tadi masih punya makanan yang dari bapaknya. Kasihin aja ke mereka...sebagai tanda persahabatan.”
Sontak semua tertawa.
Dan ternyata...begitu membuka tas, kera langsung mendekat, lalu refleks melempar makanan. Sedikit menjauh. Duduk di emperan kios-kios yang berjajar. Begitu melihat ke atas jajaran pohon di depan kami duduk, banyak sekali kera-kera itu di sana. Lalu mereka beranjak turun, menghampiri makanan tadi. Makin banyak saja kera di jalan, dan makin ciutlah nyali kami. “In, sahabatmu tuuuh!”
Pukul setengah lima kami masih tertahan di emper toko itu sedangkan ternyata loket tutup pada pukul lima. Lebih baik kami kembali saja. Sebagai gantinya, kami menuju pasar Tawangmangu. Tetapi sebelum itu, mampir dulu di hik/angkringan ala anak PA (=D), pas untuk perjalanan seorang backpacker. Di tengah-tengah menikmati santapan, gerimis turun. Semakin mendinginkan udara yang sudah dingin saja.
Bagian pasar area buah itu sepintas mirip area Galabo-PGS-BTC di Solo. Bangunannya sudah modern, yang dijual di dalamnya tentu saja buah-buahan. Saat itu yang paling mendominasi penglihatan kami hanya alpukat dan ubi cilembu. Cukuplah bagi kami. Sempat bertanya-tanya tentang strawberry tapi ternyata sedang tidak musim karena hujan.

Lepas dari pasar buah, kami putuskan langsung pulang. Hari sudah senja, pukul setengah enam.
Gerimis menjadi teman perjalanan. Di samping sapuan oranye di sepanjang langit barat, dan panorama yang masih saja menakjubkan. Subhanallah...

Perjalanan berakhir saat kami sudah kembali sampai di Gang Surya 2. =))

Solo, 16 Januari 2009
08:08am
...karena di sanalah tempatku menakar syukur.

*)acak adul-belum sempat ngedit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar