Jumat, 29 Januari 2010

Separuh Cinta yang Hilang

Ada getar yang tak terukur,
Bersarang di hati terdalam,
Ada rindu yang tak tersekat,
Mengadu di benak pertemuan,
Namun ada cinta yang tak terperi,
Yang kini kucari.

Mentari pagi bersinar cerah. Bulan ini aku berada di Pangandaran. Alamnya sungguh menakjubkan. Pantai tentu saja ada, tak hanya satu tetapi dua, Pantai Timur dan Pantai Barat. Ada juga gua-gua yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon-pohon hutan sekaligus cagar alam. Kudengar di sana baru saja digunakan untuk shooting sebuah reality show, acara terfavorit di sebuah stasiun televisi ibukota.
Aku berdiri di tepi pantai, diantara bebatuan yang berserakan bercampur pasir putih di tepi hutan kecil Pangandaran. Sesekali gulungan ombak laut menyambar lembut kakiku. Pun angin yang juga mengusap lembut wajahku. Semenit kemudian aku terduduk di atas perahu seorang nelayan. Sebentar kemudian aku mencicipi kecipak-kecipak muara kali kecil. Tak lama lagi aku merenungi diriku diiringi deburan ombak sebagai backsound dan birunya laut sebagai background. Sungguh terasa besarnya damai alam raya ini.
Aku teringat saat aku masih duduk di awal Sekolah Dasar. Saat ibu guru menyuruhku memperkenalkan keluargaku. Mula-mula kusebutkan namaku, nama ibuku, alamat rumahku, hobiku hingga cita-citaku. Lalu aku terdiam meminta persetujuan kepada ibu guru untuk kembali duduk.
Namun tampaknya beliau tak mengerti maksudku, beliau kemudian bertanya, “Siapa nama ayahmu?”
“Siapa? Siapa ayahku? Aku tak tahu…” kataku dalam hati.
Aku hanya terdiam. Aku bingung. Tak tahu harus berkata apa. Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Aku hanya bisa memandang ibu guru dengan nada sendu. Tampaknya ibu guru baru mengerti arah pikiranku. Beliau hanya menepuk lembut bahuku sebelum menyuruhku duduk kembali.
Ketika aku pulang sekolah, siang harinya, tampak ibu sedang menjahit potongan kain yang biasa disebutnya pola. Ibu sedang menjahit kemeja yang seukuran badanku. Tentu saja untukku.
Aah…ibu aku tak sanggup membalas kasih sayangmu. Kasih sayangku hanya sepanjang galah sedangkan kasih sayangmu sepanjang jalan.
Seusai makan aku menghampiri beliau di beranda rumah. Ibu sedang menyulam. Aku ingin bertanya tentang ayah kepada ibu namun aku ragu. Aku terlalu takut ibu akan marah. Hanya menatapnya dalam-dalam yang bisa kulakukan.
Tampaknya ibu menyadari keberadaanku.
“Ada apa, Habib? Tumben tidak ceria seperti biasanya? Ada masalah?” tanya Ibu beruntun.
“Bu, bolehkah Habib menanyakan sesuatu?” ucapku takut-takut sembari duduk di sampingnya.
Ibu berhenti menusukkan jarum ke kain dan menatapku penuh kasih sayang, ”Kau ingin menanyakan apa, Nak? Kalau Ibu bisa menjawabnya tentu akan Ibu jawab tapi kalau Ibu tak mampu, maafkan Ibu ya, Nak?”
Ibu mengelus rambutku.
“Bu, Habib takut Ibu marah. Tapi Habib benar-benar ingin tahu…” aku menunduk tak mampu melanjutkan lagi kata-kataku.
“Ya sudah, katakan saja. Kalau Ibu marah kan ada Habib sebagai pereda kemarahan Ibu. Ya, kan?”
Ibu memang paling bisa membesarkan hatiku. Ketika aku diejek kawan-kawanku, ketika nilaiku paling jelek, ketika aku sakit. Sepanjang hidupku Ibu selalu membantuku, membesarkan hatiku.
Aku menghela napas sejenak.
“Bu, di mana ayah Habib?” aku lega telah mengatakannya sekarang.
Tapi Ibu kemudian tertunduk, “Maafkan Ibu Nak, Ibu benar-benar tak bisa mengatakannya. Ibu tak ingin Habib sedih. Habib masih kecil, Habib harus menikmati masa-masa bermain Habib dengan senang. Sudah, jangan pikirkan dulu di mana ayahmu berada. Hilangkan beban itu, Nak… Habib masih punya Ibu...”
“Tapi tanpa seorang ayah, Habib tak akan ada di bumi ini, Bu. Habib pasti punya ayah, Bu! Siapa ayah Habib, Bu?!” aku tak mampu menahan emosiku.
Air mataku mulai meleleh.
“Aku tak boleh menangis...” kataku pada hatiku.
Ibu hanya bisa menangis. Ibu tak bicara sepatah kata pun. Aku jadi menyesal melihat beliau. Ibu terus terisak-isak. Mungkin hati Ibu terguncang mendengar pertanyaan singkatku. Pertanyaan singkat yang bagiku bagaikan sebuah misteri yang harus segera dipecahkan namun bagi Ibu bagaikan halilintar yang menggelegar pada musim badai, yang harus dihindari.
“Maafkan Habib, Ibu… Habib menyesal menanyakan hal itu. Mungkin belum saatnya Habib mengetahui siapa ayah Habib…” aku ikut tertunduk di sisi Ibu.
Ibu kemudian merangkulku, mendekapku dalam pelukan hangatnya, dan mengelus punggungku, “Ibu yang bersalah, Nak. Ibu belum mampu menjawab pertanyaan Habib. Maafkan Ibu ya, Nak? Ibu belum bisa menjadi Ibu yang baik bagi Habib…”
“Tak apa, Bu. Semua pasti ada saatnya. Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya, Bu. Dan mungkin kali ini Habib belum saatnya tahu siapa ayah Habib,” aku mencoba mengembalikan keceriaan Ibu.
“Anakku…” Ibu semakin erat memelukku.
Hangatnya kasih sayang Ibu semakin terasa dan aku semakin ingin merengkuh surgaNya di bawah telapak kaki Ibu.
***
Ketika waktu tlah menjadi jarak,
Dan ruang tlah menjadi sekat,
Inginku kembali seperti dulu,
Merajut kisah, menguntai kata,
Menjadi kesejatian untuknya,
Membiaskan cinta di hatinya.

Burung camar terbang melayang-layang di atas laut biru di bawah biasan sinar biru mentari sore. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sebentar lagi para nelayan akan kembali ke laut mencari tangkapan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarga masing-masing. Ya Tuhan, semoga aku lebih beruntung daripada mereka...
Ibu telah meninggalkanku setahun yang lalu untuk selamanya. Kini aku tinggal sendiri di bumi ini. Merana seorang diri, berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Aku ingin mencari ayahku. Ibu belum juga mau membuka rahasia itu. Aku tak mungkin lagi menguak sisi-sisi kehidupan Ibu darinya sekarang. Aku akan mencari saudara-saudara Ibu. Semoga mereka mau memberikan sedikit keterangan padaku tentang ayah. Aku rindu ayah. Aku ingin mengecap hangatnya kasih sayang seorang ayah. Harapan dan cita-citaku sekarang hanya satu itu.
Seorang nelayan setengah baya datang menghampiriku.
“Siang, Nak!” ucapnya sumringah sambil merekahkan bibirnya.
Aku berdiri dan mengulurkan tanganku, “Siang, Pak. Mau melaut?”
“Ya, tetapi teman saya belum datang. Saya lihat kamu bukan orang sini, dari mana asalnya?” nelayan itu meletakkan jalanya lalu duduk di atas lembutnya pasir pantai. Aku pun mengikutinya duduk.
“Saya dari jauh, Pak. Dari Yogya. Saya tak sengaja ke sini, kata orang pemandangannya bagus.”
“Kenapa tak sengaja?” tanya nelayan itu dengan herannya.
“Sebenarnya saya ingin mencari ayah saya... Oh, ya nama Bapak siapa?” tanyaku sembari melayangkan pandangan ke hamparan laut tanpa ujung.
Bapak itu mengerutkan keningnya lalu berkata, “Nama Bapak Rosandi. Mencari ayah? Kau tak tahu siapa ayahmu? Namamu siapa?”
“Nama saya Habib. Sejak kecil saya tak tahu siapa ayah saya, saya belum pernah bertemu dengannya. Ibu tak mau menceritakannya, kini Ibu sudah meninggal dan saya berkelana mencari saudara-saudara Ibu untuk mencari tahu siapa ayah saya…” aku masih memandang ke laut.
Pak Rosandi memegang bahuku kemudian memainkan patahan karang dan berkata, “Ooh, maafkan Bapak, Bapak sudah lancang. Tapi bolehkah Bapak tahu siapa nama Ibumu? Barangkali Bapak mengenalnya. Bapak pernah tinggal beberapa tahun di Yogya.”
“Nama Ibu saya…e...Aisyah…” aku kembali teringat Ibu, kasih sayangnya.
“Aisyah? Aisyah, nama ibumu…” ucapan Pak Rosandi tiba-tiba terlihat janggal. Nada bicaranya berbeda dari kata-kata sebelumnya, kukira kalimatnya belum selesai. Dan bisa kulihat dari wajahnya jika beliau tengah memikirkan sesuatu.
“Bapak kenal dengan Ibu saya?” aku bertanya sesaat setelah aku menoleh padanya. Aku memendam harapan besar kepada beliau.
“Eee…tidak. Saya dulu juga punya teman namanya Aisyah tapi sebelum saya pindah ke sini dia meninggal, belum bersuami. Maaf itu teman saya sudah datang. Saya duluan, ya! Kapan-kapan mampir ke rumah saya, di ujung pantai!” Pak Rosandi segera berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke arah temannya berada.

Sleman, di penghujung 2005.

Terima kasih, Yah, Bun, untuk semuanya, untuk kepercayaannya yang tak terperi.
Dan untuk orang yang telah memberikanku inspirasi, percayalah bahwa hidupmu pun indah meski kau tak tahu siapa ayahmu. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar