Selasa, 19 Juli 2011

Balada Si Roy-Bandel

picture taken from here
Siapa rindu kebebasan, ceburilah kabut dalam tekad peleburan. Apa yang tanpa wujud senantiasa mencari bentuk, tak beda dengan jutaan bintang yang menjelma jadi matahari-matahari dan bulan-bulan; dan kita para pencari, yang pulang dalam wujud ini, sesosok zat padat, sekali nanti larut dalam kabut lagi, dan menghayati kehidupan dari asal kejadian. Dan, apa yang bisa bangkit membumbung angkasa, tanpa terbelah pecah dalam gairah hidup dan kebebasan?
          -Taman Sang Nabi, Kahlil Gibran.


Akhirnya saya berhasil menyelesaikan petualangan bersama si bandel Roy via serial Balada si Roy karya maestro sastra dari Banten, Gola Gong. Sudah sejak kurang lebih Sembilan tahun yang lalu saya mulai membaca karya-karya Gola Gong. Karya pertamanya yang saya baca adalah trilogi PadaMu Aku Bersimpuh. Kala itu novel ini turut disinetronkan pada bulan Ramadhan di sebuah televisi swasta. Berikutnya saya mulai membaca cerpen-cerpennya yang tersebar di berbagai media.

Sebenarnya rampai kisah si Roy ini saya baca melalui naskah elektroniknya dan tidak secara utuh. Balada si Roy terdiri dari sepuluh serial dan serial ke sembilan tidak saya temukan. Praktis tentu saja ada babak yang hilang dan tidak tahu apa yang terjadi pada jeda antara serial ke delapan dan sepuluh. Tetapi secara keseluruhan cukuplah satu kesimpulan tentang remaja Roy ini: bandel!

Roy, siswa sekolah menengah atas di Banten yang tidak punya niat jadi siswa. Sekolahnya dikorbankan demi keinginan avonturirnya. Mamanya yang kemudian sakit pun tidak digubrisnya. Roy tetap melangkah, meninggalkan mamanya yang sakit-sakitan. Ego yang dimilikinya memang tinggi, pikirannya cuma satu: avoturir. Avonturir itupun mungkin bukan tanpa sebab. Dengan beravonturir, Roy yang juga pengarang cerita bersambung di sebuah majalah mendapatkan materi cerita. Apa yang terjadi pada Roy, itulah cerita yang dimuat. Dari pemuatan cerita, ia dapat honor, dan dia tak perlulah menyusahkan mamanya.

Lelaki dimiliki wanita, tapi dia memiliki semua. Dia harus pergi, tapi juga harus pulang, karena ada yang dikasihi dan mengasihi. Ya, lelaki memang harus pergi, tapi juga harus pulang.
          -Heri H Harris

Balada si Roy ini benar-benar laiknya novel dengan dua warna, positif dan negatif. Darinya saya belajar bahwa ego itu seharusnya tidak selamanya dimenangkan, namun ada kalanya pula ego memang harus dimenangkan, tergantung situasi dan kondisi. Ya, pandai-pandai sajalah mengatur prioritas. Ending novel ini sebenarnya membuat saya cukup tersentak, Roy bandel pulang avonturir hanya menjumpai pusara mamanya… Tapi memang itulah jalan yang telah dipilih Roy, itulah konsekuensi yang harus diterimanya pula. Setiap langkah pasti ada resikonya, dan kita harus berani menghadapinya.

Seorang lelaki harus berani mengusir ketakutan. Ketakutan untuk berbuat salah. Ketakutan untuk berbicara salah. Dan seorang perempuan harus berani memiliki jiwa lelaki. Berani mendampingi gelisah lelaki. Berani untuk tidak takut kehilangan lelaki. 
-Heri H Harris

Dan akhirnya kisah ini mengisyaratkan kepada saya untuk tidak henti-hentinya bermimpi. Tentang apa saja.

Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Pohon rimbun. Sawah. Gunung. Sungai.Bebatuan. Tawa anak gembala di punggung kerbau. Main lumpur. Alamku. Mimpiku. Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Bunga-bunga. Kasih. Belaian. Harapan. Alamku. Mimpi-mimpiku. 
          -Heri H Harris

Sleman, 15 Juli 2011 21:24
*semua lelaki sebaiknya membaca serial novel ini :D :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar