Selasa, 12 Juli 2011

A Moment I Missed


Telah genap sepekan satu sudut peron stasiun di kota timur itu saya tinggalkan. Ada gelegak rindu yang tiba-tiba meluap. Entah berapa hitungan pekan lagi atau bahkan hitungan bulan lagi saya akan menyambangi sudut peron itu lagi, duduk menyepi menanti kereta komuter yang akan membawa saya menuju kota barat, kota tempat saya lahir dan dibesarkan, kota di mana kartu pengenal saya menunjukkan alamat domisili utama saya.

Begitu banyak poin sensasi yang saya rindukan. Rutinitas pekanan

yang (mungkin) sejenak akan saya tinggalkan. Mengepak beberapa barang yang sekiranya akan saya butuhkan di rumah; berulang kali menilik jadwal keberangkatan kereta di saved item handphone butut yang masih sangat saya cintai; menggeber motor menuju area parkir stasiun atau berjalan beberapa meter ke jalan raya menanti bus kota yang akan menggenggam sejenak langkahku; mengantri di loket tiket kereta; memasuki gate pemeriksaan, dan akhirnya menuju peron sudut –peron terjauh dari gate pemeriksaan—jika belum ada yang mendahului duduk. Akhirnya, membuka bekal: bacaan.

Tentang bacaan, saya memang sengaja tidak pernah membiarkan tas ransel atau tas tenteng saya kosong darinya. Dalam setiap perjalanan yang mana saya hanya menjadi penumpang dan bukan driver, saya selalu membiasakan membawa bekal seperti itu. Justru jika bekal tersebut berupa makanan atau minuman, 80 % akan saya pastikan utuh sampai destinasi akhir. Dengan bacaan saya merasa waktu saya tidak banyak terbuang untuk hal-hal yang kurang atau bahkan tidak bermanfaat. Bagi saya membaca adalah sebuah pekerjaan yang menuntut untuk diselesaikan seperti halnya pekerjaan-pekerjaan yang lain. Dan membaca di peron stasiun atau gerbong kereta adalah salah satu cara mengusir kebosanan di samping membuang waktu yang terasa hampa.

Tetapi lain cerita bila kereta ternyata dalam kondisi penuh, berjejalan layaknya pepes yang dipanggang. Apa boleh buat. Saya hanya akan mengamati penumpang yang lain. Berabe sebenarnya, merasa tidak enak juga bila sang empunya raga tiba-tiba mengetahui tingkah saya dan gantian memelototi. Aksi selanjutnya ya palingkan saja muka sedikit bergeser beberapa derajat, sok sebenarnya memperhatikan pemandangan melalui celah di samping kepalanya. Memperhatikan orang mungkin sekian persen bawaan yang saya miliki (yang masih ada), sisa-sisa mimpi masuk fakultas psikologi sekian tahun lalu. Terkadang kita bisa belajar tentang kehidupan dari mereka. Bukankah setiap orang yang kita temui adalah guru? Dan setiap waktu yang kita miliki adalah proses pembelajaran?

Satu jam kemudian sampailah saya di destinasi akhir: Yogyakarta.

Beautiful and luxurious train station I ever seen in the center region of Java Island. Yes, finally I walking through the station sidewalk, going to the waiting shelter. Find my brother…heading back to home. Happy time ever!

Sleman, 10 Juli 2011 22:25

*suddenly I heard something bothering me outside home. are you a mouse? or …=D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar