Kamis, 28 Juli 2011

Tiga Puluh Menit Berlalu

Tiga puluh menit berlalu, siang itu. Saya masih terduduk di bangku panjang baris tengah di warung pojok dekat patung Soekarno Hatta. Siku tangan kanan saya menyender di tepian meja yang juga panjang. Sementara kemudian segelas teh hangat dan sepiring gado-gado dengan lelehan saus kacangnya telah selesai diracik dan meluncur tepat di bawah dagu saya.

Tiga puluh menit berlalu, siang itu. Saya sesekali masih tak bisa menepis keheranan terhadap dua sosok lelaki di bangku depan. Di udara yang panas sekali itu, syal melilit di lehernya, rapat. Tubuhnya terbalut jaket kulit, rapat. Celana jeans, sepatu vantofel, blackberry, serta sebungkus rokok dan sebuah korek. Di sampingnya,  seorang temannya (yang) sedikit lebih "membumi". Lelaki yang juga berbalut jaket kulit, celana jeans, ransel hitam, dan handphone butut. Sebatang rokok nangkring di mulutnya. Sesekali ujung bibirnya mengepulkan asap tipis, yang jika meruah ke arah belakang, saya ingin balik mengerucutkan bibir, meniupnya kembali agar terbang pulang ke meja depan.

Tiga puluh menit berlalu. Sayangnya, saya tentu saja tidak cukup sopan untuk mengatakan dan menanyakan ini. Tentang mereka...

Saya hanya ingin tahu, mengapa dalam suhu yang begini panasnya, lelaki itu masih bertahan mengalungkan syal di tengkuk, melilitkan di leher, dan bersahabat dengan jaket kulit? Dan lagi, apa nikmatnya merokok selain untuk atraksi mengepulkan asap-asap tipis itu?

sepotong kisah kala siang menjelang sore ini. auoooo...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar